Kamis, 03 Oktober 2019

Kredibilitas Wakil Rakyat Perspektif Ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil




Kontekstualisasi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil  dalam Upaya Memilih Wakil Rakyat dan Korelasinya dengan Teori Kredibilitas

Very Aulia Rahman


Abstrak
Indonesia adalah negara demokrasi, hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Tampak dengan adanya pemilu, dimana yang dipilih adalah rakyat Indonesia sendiri untuk mewakili rakyat Indonesia dalam mengatur tatanan pemerintah Indonesia dan sistwm Indonesia itu sendiri. Namun, adakalanya masyarakat kita sangat asing dengan calon pemimpinnya sendiri, tentang gaya kepemimpinan dan kepribadiannya. Disini tentu dibutuhkan suatu metode dalam menilai dan menentukan calon pemimpin yang jujur dan bertanggungjawab. Dalam Metode tersebut secara eksplisit sudah tertampung dalam ilmu hadis, yaitu al-Jarh wa at-Ta’dil, yang mana ilmu ini digunakan untuk mengkritisi kredibilitas perawi hadis. Tentunya standar kredibilitas perawi hadis dengan standar kredibilitas pemimpin ataupun wakil rakyat, jika ditarik benang merah maka akan terdapat beberapa kesamaan. Kemudian untuk menunjang teori tersebut, perlunya teori-teori lain seperti teori kredibilitas yang mencakup kejujuran dan tanggung jawab akan digunakan sebagai pendukung teori al-Jarh wa at-Ta’dil dalam menentukan calon pemimpin ataupun wakil rakyat di Indonesia.

Kata Kunci : Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Teori Kredibilitas, Wakil Rakyat.

A.       Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang besar. Negara kepulauan yang kaya akan hasil buminya yang seharusnya kekayaanya tersebut diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.[1] Indonesia adalah negara perjuangan, yang mana kebebasan diperoleh dengan segenap tumpah darah para pahlawan menghadapi penjajah. Lantas bagaimanakah Indonesia saat ini? Bagaimanakah juga kondisi rakyatnya dan semangat para pemudanya?[2] Semua kondisi itu juga tergantung dengan pemimpin ataupun wakil rakyat yang mengatur sistem dan tatanan negara ini.
Memilih pemimpin ataupun wakil rakyat di Indonesia dilakukan setiap lima tahun sekali, mulai dari presiden, DPR, DPRD, dan lainnya secara serentak. Berbagai macam cara dilakukan partai-partai politik untuk mengkampanyekan calonnya. Bermodal janji-janji, para calon legislative pun tak mau kalah melakukan pendekatan dengan masyarakat untuk memperoleh suara mereka dalam pemilu. Sampai cara-cara tidak terpuji pun terpaksa mereka lakukan demi kursi jabatan.
Disini tentu rakyat yang menjadi korban, dengan janji-janji yang belum pasti bahkan dengan beribu rupiah saja suara mereka dapat terbeli oleh calon legislatif yang belum jelas kepribadian serta tanggungjawabnya terhadap negara. Pada kondisi seperti ini Indonesia sedang berada pada suhu-suhu tinggi yang rawan akan terjadinya konflik internal.
Barulah setelah mereka pemimpin, dengan berbagai perilaku serta kebijakan-kebijakannya, rakyat akan merasakan dampaknya. Misalnya seperti kinerja DPR, mereka seharusnya mengatur pemerintahan dengan mengamalkan pancasila dan penampung aspirasi rakyat.[3]. sebaliknya citra DPR sudah buruk di mata rakyat, mereka tidur ketika rapat, jalan-jalan keluar negeri dengan dalih studi banding dan masih banyak lagi lainnya. Lalu hal ini salah siapa? Salah mereka pasti, tapi rakyat juga ikut andil dalam masalah ini. Rakyat lah yang telah memilih mereka sebagai wakilnya.
Permasalahan tersebut kemungkinan dapat teratasi ketika rakyat mau bersikap kritis dan selektif dalam memilih pemimpin mereka. Jangan mudah tergiur dengan janji-janji ataupun imbalan yang bertujuan membeli suara rakyat demi kepentingan suatu pihak. Selain itu, badan seleksi calon wakil rakyat harus mampu menilai kredibiltas partai dan calon legislatif dengan standar-standar yang sudah ditentukan. Menyeleksi partai politik yang mau memikirkan kesejahteraan rakyat, serta calon legislatif yang bertanggungjawab. Sebagaimana Hadis Nabi SAW :
عن أبي ذر قال : قلت : يا رسول الله ألا تستعملني قال: فضرب بيده على منكبي قال : يا أبا ذر إنك ضعيف وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه فيها. (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abu Dzar berkata, saya berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata : Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda : “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar. (H.R. Muslim).[4]
            Sebagaimana juga dijelaskan oleh Syaikhul Islam:
وينبغي أن يعرف الأصلح في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة
Artinya : Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar : yaitu kuat (mampu) dan amanah.[5]
Dari kedua hadis diatas diketahui bahwa menjadi seorang pemimpin adalah merupakan tanggungjawab yang besar. Seorang pemimpin harus mampu dan amanah dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Mengenai masalah diatas, keurgensiannya adalah bagaimana cara rakyat memilih seorang pemimpin dan bagaimana juga badan yang berwenang menyeleksi kredibiltas seseorang menjadi calon pemimpin. Dibutuhkan suatu pendekatan ataupun metode khusus dalam memandang seorang calon pemimpin, yang dalam hal ini meminjam metode kritik perawi hadis al-Jarh wa at-Ta’dil dalam menilai kredibilitas seorang perawi.
Meskipun ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil  digunakan untuk menilai kredibiltas perawi hadis, ilmu ini juga diharapkan mampu diterapkan dalam kontekstualisasi ilmu Islam di Indonesia, khususnya dalam menentukan ataupun mengkritisi kredibilitas seorang pemimpin atau wakil rakyat. Hal ini dilakukan agar Indonesia memperoleh pemimpin yang jujur dan bijaksana guna kesejahteraan bersama hari ini dan di masa yang akan datang.

B.       Pembahasan
1.    Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Menurut bahasa, kata al-Jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu yang berarti “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan nonfisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Kata jaraha juga mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi” misal dipakai hakim dalam perihal kesaksian.[6]
Secara Istilah, al-Jarh berarti terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahnya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur atau melemahkan riwayat hingga kemudian ditolak.[7] Jadi al-Jarh bisa diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan tidak diterima riwayatnya atau dho’if.
Kemudian kata Ta’dil adalah masdar dari kata ‘addala yang memiliki arti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, Ta’dil berarti mengemukakan sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan pribadi periwayat dan riwayat yang disampaikan dapat diterima. Selain itu juga bisa diartikan dengan ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.[8]
Jadi ilmu al-Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.[9]
Ada beberapa syarat yang bagi orang yang menta’dilkan (mua’ddil) dan mentarjihkan yaitu : Berilmu pengetahuan, bertaqwa, menjahui perbuatan-perbuatan maksiat, jujur, menjahui fanatik golongan, dan mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.[10] Untuk itu tidaklah sembarang orang yang bisa mengkritisi perawi hadis dan menyatakan bahwa periwayatannya diterima maupun ditolak, dikarenakan harus memiliki syarat-syarat tersebut.
Dalam ilmu ini terdapat teori-teori yang telah dikemukakan oleh ulama ahli al-Jarh wa Ta’dil dan perlu dijadikan bahan oleh peneliti hadis ketika melakukan kegiatan penelitian, khususnya berkaitan dengan penelitian periwayat hadis, yaitu:
(1)     التعديل مقدم على الجرح
At-Ta’dil didahulukan atas al-Tarjih, maksudnya adalah ketika seorang rawi dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai buruk oleh kritikus lainnya, maka yang dimenangkan adalah nilai terpujinya. Pentarjihan dilakukan oleh kritikus ketika ia di dapati masik fasik, sedangkan penta’dilan dilakukan oleh kritikus yang mengetahui bahwa perawi telah bertaubat.[11]
(2)     الجرح مقدم على التعديل
Al-Jarh didahulukan atas at-Ta’dil, maksudnya adalah ketika seorang rawi dinilai tercela oleh kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang dimenangkan adalah nilai tercela. Hal ini dengan alasan kritikus yang mencela lebih paham sifat perawi dan kritikus yang memuji hanya bersifat prasangka.
(3)     إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إلا إذا ثبت الجرح المفسر
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang haus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali ketika kritikan yang mencela disertai dengan penjelasan atau bukti-bukti ketercelaanya.[12]
(4)     إذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه للثقة
Apabila orang yang mengkritik buruk adalah daif, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak sah, dikiarenakan orang yang bersifat tsiqah lebih berhati-hati dan cermat dari pada orang yang tidak tsiqah.[13]
(5)     لا يقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية الأشباه في المجروحين
Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. Maksudnya adalah ketika terdapat kesamaan nama periwayat, agar terhindar dari kekliuran maka harus diteliti terlebih dahulu.
(6)     الجرح الناشئ عن عداوة دنيوية لايعتد به
Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan. Maksudnya adalah seorang kritkus yang mencela dengan alasan memilik rasa benci atau bermusuhan dalam bentuk keduniawian maka kritikan tersebut tidak sah atau ditolak.[14]
Dalam melakukan ­jarh dan ta’dil, para ulama hadis merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai degan tingkat keburukan dan keadilan seorang perawi. Adapaun tingkatan lafal ta’dil adalah sebagai berikut :
Pertama, orang yang paling tsiqah/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya.
Kedua,  si fulan tidak perlu dipertanyakan lagi tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya.
Ketiga, terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik.
Keempat, kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit.
Kelima, benar, jujur, tidak ada masalah. Lafal tersebut hanya menunjukkan keadilannya, tetapi tidak kedabitannya.
Keenam, syeikh, tidak jauh dari benar, tidak baik, semoga benar. Lafal tersebut menunjukkan seorang perawi itu sudah mendekati jarh.[15]
Sedangkan tingkatan lafal al-jarh sebagai berikut :
Pertama, menggunakan lafal yang menunjukkan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya kata “Manusia paling pendusta, tiangnya dusta”.
Kedua, menggunakan lafal yang menunjukkan perawi sering berdusta, tetapi tidak sampai pada tingkat pertama. Misalnya “Pendusta, pengada-ngada”.
Ketiga, menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa perawi dituduh berdusta, misalnya “Tertuduh dusta, mencari hadis, celaka, tidak tsiqah”.
Keempat, menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa hadis diriwayatkan sangat lemah, misalnya “Ditolak hadisnya, dibuang hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak ditulis hadisnya”.
Kelima, menggunakan lafal yang menunjukkan bahwa perawi tersebut lemah atau tidak kokoh hafalannya, misalnya “goncang hadisnya, tidak dijadikan hujjah, dia lemah”.
Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membutikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat ta’dil, misalnya “tidak kuat, tidak termasuk hujjah, terdapat kelemahan”.[16]
2.    Teori Kredibiltias
Kredibilitas adalah keadaan/ kondisi/ perihal yang dapat dipercaya dan bisa dipertanggungjwabkan sebagaimana mestinya.[17] Ketika suatu organisasi akan mengadakan perubahan, maka faktor dan kredibilitas dan kempemimpinan menjadi hal utama. Kemudian mengapa kredibilitas pemimpin menjadi penting untuk sebuah perubahan?
Perubahan tidak akan pernah terjadi apabila tidak ada seorang leader yang mampu menggerakkan banyak anggotanya. Perubahan dalam kelompok bergantung pada orang-orang yang menanungi kelompok tersebut. hal ini dikarenakan karakteristik tiap individu yang berbeda yang tentunya akan memberikan perbedaan dalam suatu organisasi. Perubahan-perubahan yang akan terjadi tidak selamanya memberikan dampak positif, adakalanya juga negatif. Hal ini bergantung kepada kemampuan seorang dalam memimpin.[18]
Setiap orang ataupun kelompok tidak menginginkan sesuatu hal yang buruk terjadi dalam kehidupannya. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu memilih seorang pemimpin yang memiliki kriteria tertentu diantaranya adalah kredibilitas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko buruk yang terjadi karena perubahan suatu organisasi.[19]
Dari dalam diri seorang pemimpin, tentunya akan memunculkan sumber-sumber energi positif seperti kepercayaan tinggi, kepemimpinan yang mumpuni, kompetensi, kepedulian, dan komitmen yang tinggi. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut maka akan semakin tinggi tingkat kredibiltas seorang pemimpin dan juga akan berdampak baik pada keberlangsungan suatu kelompok. Disisi lain kredibilitas tidak berperan untuk memulihkan sesuatu agar kembali normal sepenuhnya atau mengembalika kerugian potensial, tetapi hanya dapat mengurangi ketidakpastian dan ancaman yang akan datang.
Kepemimpinan yang kredibel dapat dilihat dari kepercayaan yang diterima seorang pemimpin. Kepercayaan timbul karena pemimpin selalu memberikan keteladanan perilaku yang baik kepada para anggotanya. Hal tersebut bisa dilihat dari karakter kesehariannya, sebagai seorang pemimpin harus bersikap jujur, adil, dan rendah hati. pemimpin juga harus bisa menjadi penengah ketika terjadi suatu konflik di suatu organisasi.
Seorang pemimpin ditinjau dari segi kompetensi, adalah seorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap-perilaku positif, inovatif dan pengalaman yang panjang. Kompetensi ini dibutuhkan untuk memperkecil terjadinya resiko kegagalan setiap perubahan yang mungkin akan terjadi. Selain itu pemimpin juga harus memiliki komitmen yang diwujudkan dalam memilih anggotanya yang benar-benar mampu dalam membantu dan mendukung kebijakannya. Selain itu juga harus memiliki minat yang tinggi dan mengkoordinir para anggotanya untuk mensukseskan perubahan.[20]
Dalam mencapai keberhasilan perubahan, seorang pemimpin akan memanfaatkan daya energinya melalui optimalisasi keseimbangan, stabilitas, dan kekuatan atas kekuasaannya. Apabila di salah satu unsur atau keseimbangan terdapat titik lemah, maka akan membatasi kapasitas pemimpin dalam mengelola perubahan secara maksimal.[21] Tidak ada yang dapat menjamin seorang pemimpin tidak akan gagal, tetapi yang perlu ditekankan adalah seorang pemimpin harus menghindari coba-coba dan obral janji bahwa dia sanggup mengatasi semua persoalan. Untuk itu diperlukan juga koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
3.    Sekilas tentang wakil rakyat
Menjadi wakil rakyat telah menjadi impian banyak orang. Segala cara akan dilakukan untuk menduduki kursi tersebut, bahkan cara-cara yang kurang etis pun sering dilakukan. Jabatan wakil rakyat adalah jabatan kehormatan sekaligus amanah rakyat. Mereka memiliki banyak keistimewaan dibandingkan dengan rakyat biasa, seperti gaji yang fantastis, tunjangan jabatan, kendaraan dinas, rumah dinas, studi banding keluar negeri/melancong dan lain sebagainya.
Sekarang ini, wakil rakyat sangat memperihatinkan, mereka yang seharusnya membela rakyat, memikirkan kepentingan rakyat, justru malah seorang memeras dan memanfaatkan rakyat demi kepentingan pribadi, dari mulai jabatan tingkat biasa hingga jabatan tingkat tinggi di negara Indonesia ini. Seharusnya para pemimpin atau wakil rakyat memiliki kepribadian sebagai berikut :
a.       Integritas : Sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.[22]
b.      Demokratis : Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain.[23] Seorang pemimpin atau wakil rakyat harus melindungi kebebasan rakyatnya, tidak ada paksaan terhadap rakyat.
c.       Amanah : Seorang pemimpin harus dapat dipercaya. Ia juga harus mampu merealisasikan janji-jani saat kampanye, menyuarakan dan memperjuangkan seluruh aspirasi rakyat.
d.       Nasionalis : Seorang pemimpin harus mampu mempertahankan kedautan bangsa dan negara. Bukan malah menjual asset penting negara terhadap pihak-pihak asing tanpa sepengetahuan rakyatnya.
e.       Bertanggungjawab : Seorang pemimpin harus bertanggungjawab atas segala keputusan dan kebijakan selama ia memimpin. Tidak hanya menyerahkan kepada pepemimpinan selanjutnya tanpa berusaha ikut andil atas apa yang telah ia perbuat.
4.    Kontekstualisasi Ilmu al-Jarh wa Ta’dil
Penerapan teori al-jarh wa at-ta’dil dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin, baik berhubungan dengan sifat, kepribadian, karakter dan lain sebagainya. Ketika ada banyak yang menganggap calon pemimpin itu baik dengan memaparkan bukti-bukti yang jelas, maka itu adalah calon pemimpin yang ideal, begitupun sebaliknya.
Sebelumnya telah disebutkan teori yang berkenaan dengan al jarh wa ta’dil, berikut penerapannya dalam konteks memilih seorang pemimpin. Pertama, seorang calon pemimpin yang ketika mendapat komentar positif dan juga komentar negatif, maka seharusnya lebih melihat komentar positif dengan alasan perbuatan buruk calon pemimpin adalah masa lalu, yang kemudian sekarang ini telah melakukan perbaikan diri dengan sungguh-sungguh. Untuk itu calon pemimpin seperti ini termasuk pada kriteria pemimpin yang baik.
Kedua, ketika seorang calon pemimpin dinilai buruk oleh sebagian orang tetapi juga dinilai baik oleh sebagian orang, maka harus dicermati terlebih dahulu siapa yang mencela dan siapa yang memuji. Ketika ternyata yang mencela adakah orang yang paham dan tahu akan karakter calon pemimpin, sedangkan yang memuji hanya karena perasangka ataupun faktor lain, maka yang harus diperhatikan adalah calon tersebut tidak layak menjadi seorang pemimpin.
Ketiga, sering terjadi sebuah perdebatan antara kelompok satu dengan kelompok lain tentang baik buruknya calon pemimpin. Perdebatan seperti ini lumrah terjadi. Seharusnya rakyat tidak boleh asal bela ataupun mencela tanpa adanya penelitian ataupun bukti yang akurat tentang calon pemimpin tersebut.
Keempat, ketika calon pemimpin adalah seorang yang dikenal oleh banyak orang sebagai pribadi yang alim, santun, sedangkan yang mengkritik adalah seorang dengan pribadi yang lemah atau tidak kompeten, maka kritikan buruk terhadapnya tidak dapat dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan.[24] Rakyat jangan mudah terprovokasi dengan komentar-komentar orang yang tidak mengetahui ilmunya dan asal bicara tanpa dasar yang kuat.
Kelima, rakyat harus mengenal dan mengetahui calon pemimpin mulai minimal nama dan wajahnya. Jangan sampai rakyat dijadikan bingung oleh pembolak balikan fakta terkait kasus atau keburukan yang telah dilakukan oleh salah satu calon pemimpin. Dengan mengenal calon pemimpin, maka akan terhindar keslahpahaman atapun fitnah tentang calon tersebut.
Keenam, seorang calon pemimpin yang menerima kritikan dari seorang yang memang sudah diketahui memiliki dendam ataupun permusuhan terhadapnya, maka tidak bisa dijadikan acuan dalam penilain. Karena penilaian yang berlandaskan perasaan tentu tidak objektif.
Teori-teori diatas tentunya juga sangat relevan dengan teori kredibiltas seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki sifat integritas, demokratis, cinta tanah air, amanah, serta bertanggungjawab. Rakyat bisa menentukan pilihannya dengan melihat kriteria-kriteria tersebut. Seorang pemimpin bisa melakukan perubahan besar dalam suatu negara dengan kebijakan dan kekuasaanya.
Disamping itu juga, calon pemimpin harus mampu merealisasikan janji-janjinya yang telah diucapkan kepada rakyat. Rakyat juga harus selektif, jangan mau terbuai janji. Melihat karakter calon pemimpin dengan janji-janji yang ia sebutkan, tentu nanti akan terlihat batas kesanggupannya. Janji yang benar-benar nyata, atau hanya sebuah pemanis kata.
Badan penyeleksi atau dalam pemilu disebut dengan KPU harus berperan aktif dan selektif dan menilai para calon pemimpin serta parta politik yang mengusungnya.[25] Jangan hanya menilai baik dikarenakan ada imbalannya, ataupun menilai buruk karena ada permasalahan. Informasi tentang kredibiltas calon pemimpin ini yang seharusnya rakyat juga mengetahui, bukan malah menjadikannya bahan provokasi yang menaikkan ataupun menjatuhkan salah satu pihak. Hal ini akan berdampak pada negara Indonesia kedepan.

C.       Refleksi
Metode ilmu al-ajrh wa at-ta’dil dan teori kredibilitas seorang pemimpin diharapkan bisa membantu masyarakat dalam menentukan calon pemimpin yang ideal. Disini penulis melihat bahwa syarat menjadi pengkritis pemimpin atau dalam pemilu disebut KPU harus memiliki syarat-syarat yang tidak mudah seperti syarat yang ada pada ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
Penulis meragukan apakah KPU di Indonesia dengan segenap anggotanya sudah memiliki kriteria tersebut, seperti bertaqwa, jujur, tidak memihak pada suatu golongan dan lainnya. Seperti yang sudah terjadi, terdapat isu-isu kecurangan dalam pemilu yang menunjukkan adanya keberpihakan kepada salah satu pihak pasangan calon. Meskipun hal tersebut belum dikonfirmasi dengan bukti-bukti yang kuat, tentu ini akan mengganggu stabilitas negara dan suara rakyat.
Kemudian, melihat negara Indonesia yang sekarang ini masih dalam keadaan panas politik, rakyat Indonesia pun dengan mudahnya disulut dengan bumbu-bumbu politik yang sebenarnya belum dipastikan benar tidaknya. Rakyat Indonesia yang tidak selektif, tentu dengan mudah menginginkan hasil yang baik tapi dengan janji yang tidak pasti. Mudah mengingat satu keburukan dibandingkan dengan beberapa kebaikan dan menilai bahwa itu buruk.
Merasa bahwa pemimpin yang sekarang ini harus bertanggung jawab atas segala kekurangan ataupu ketidakstabilan negara ini dengan mengembalikannya kepada keadaan yang normal. Padahal tidak seperti itu fungsi pemimpin. Pemimpin yang terpilih tentu akan melakukan perubahan kearah yang baik, tapi bukan jaminan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Tentu saja perubahan-perubahan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat.

D.      Penutup
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus, sehingga menyebabkan dierima atau ditolak periwayatannya.
Ilmu ini bisa juga diterapkan dalam kontektualisasi di Indonesia yaitu memilih pemimpin atau wakil rakyat. Terdapat beberapa syarat ataupu kriteria yang harus dimiliki seorang calon pemimpin begitu juga badan penyeleksi KPU.  Metode ini juga didukung oleh teori kredibilitas pemimpin yang menyatakan bahwa pemimpin haruslah berintegritas, demokratis, amanah, jujur, adil, nasionalis, peduli terhadap rakyat dan bertanggingjawab.
Dengan kedua cara tersebut, diharapkan dapat membantu rakyat Indonesia dalam menentukan pilihan pada calon pemimpin pada waktu pemilu yang akan datang, agar tidak tertipu dengan janji-janji yang belum pasti.

Daftar Pustaka


Abur Hamdi Usman dkk, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Criticism and Praise) : It’s Significant in the Science of Hadith, Mediteranian Journal of Social Science, Vol. 6, no. 2, 289-290.
Aeni, Aini Nur. Pendidikan Karakter untuk Mahasiswa PGSD. Bandung : UPI Press.  2016.
Al-Khatib, Ajaz. Ulum al Hadis Ulumuhu wa Musthalahatuhu. Damaskus : Dar al-Fikr. 1975.
Al Qhatthan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : Pustaka al-Kautsar. 2005.
Chamim, Mardhiyah dkk. Menjadi Indonesia ; Surat Dari & Untuk Pemimpin. Jakarta : Tempo Inti Media. 2017.
David L. Mineo, The Important of Trust in Leadership, Research Management Review, Volume 20, no. 1, 2.
Elseiver, The Leadership Quarterly : State of the journal, article in press, 1-2.
Gunawan, Markus. Buku Pintar Calon Anggota Legislatif. Jakarta : Visimedia. 2008.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta :Bulan Bintang. 2007.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah. 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi online https://kbbi.web.id/integritas.html
Mahdi, Abdul. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil Qowaiduhu wa Aimmatuhu. Kairo : al-Azhar. 1998.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung : al-Ma’arif. 1974.
Sahih Muslim no. 3404 dan 3405
Samuel S. Hemby, Creating a Leader Credibility Climate as Modeled in The Leadership of Jesus, the journal of biblical perspectives in leadership, Vol. 7, no. 1, 47-48.
Sinamo, Jansen & Agus Santosa. Pemimpin Kredibel Pemimpin Visioner. Jakarta : Darma Mahardika. 2012.
S.K, Wahyono. Indonesia Negara Maritim. Jakarta : Teraju. 2007.
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar’iyah. Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah. 1998.
Tugas dan Kewenangan KPU dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
Yuslem, Nawir. Sembilan Kitab Induk Hadis. Jakarta : Hijri Pustaka Utama. 2006.
Zaker Ahmed Khan dkk, Leadeship Theories and  Style : A Literature Review, The Journal of Resources Develeopment and Management, Vol. 16, 4-5.  



[1]  Wahyono S.K, Indonesia Negara Maritim, (Jakarta : Teraju, 2007), 11.
[2] Mardhiyah Chamim dkk, Menjadi Indonesia ; Surat Dari & Untuk Pemimpin, (Jakarta : Tempo Inti Media, 2017), 33-34.
[3] Markus Gunawan, Buku Pintar Calon Anggota Legislatif, (Jakarta : Visimedia, 2008),14-16.
[4] Sahih Muslim no. 3404 dan 3405
[5] Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyah, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1998), 15.
[6] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,(Jakarta :Bulan Bintang, 2007),68-69
[7] Manaa’ al Qhatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2005), 82.
[8] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung : al-Ma’arif, 1974), 307.
[9] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2012), 95.
[10]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis,.. 310.
[11] Ajaz al-Khatib, Ulum al Hadis Ulumuhu wa Musthalahatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1975), 267.
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,.. 74-75.
[13] Abdul Mahdi, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil Qowaiduhu wa Aimmatuhu, (Kairo : al-Azhar, 1998), 92.
[14]  M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,.. 76-77.
[15] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006), 174.
[16] Abur Hamdi Usman dkk, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Criticism and Praise) : It’s Significant in the Science of Hadith, Mediteranian Journal of Social Science, Vol. 6, no. 2, 289-290.
[17] Jansen Sinamo & Agus Santosa, Pemimpin Kredibel Pemimpin Visioner, (Jakarta : Darma Mahardika, 2012), 118.
[18] David L. Mineo, The Important of Trust in Leadership, Research Management Review, Volume 20, no. 1, 2.
[19] Samuel S. Hemby, Creating a Leader Credibility Climate as Modeled in The Leadership of Jesus, the journal of biblical perspectives in leadership, Vol. 7, no. 1, 47-48.
[20] Zaker Ahmed Khan dkk, Leadeship Theories and  Style : A Literature Review, The Journal of Resources Develeopment and Management, Vol. 16, 4-5.  
[21] Elseiver, The Leadership Quarterly : State of the journal, article in press, 1-2.
[22]  Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi online https://kbbi.web.id/integritas.html
[23] Ani Nur Aeni, Pendidikan Karakter untuk Mahasiswa PGSD, (Bandung : UPI Press, 2016),62.
[24]  M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,.. 76.
[25] Tugas dan Kewenangan KPU dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI