
Kontekstualisasi Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dalam Upaya Memilih Wakil Rakyat dan Korelasinya dengan Teori Kredibilitas
Very Aulia
Rahman
Abstrak
Indonesia
adalah negara demokrasi, hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal
1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Tampak dengan adanya pemilu, dimana
yang dipilih adalah rakyat Indonesia sendiri untuk mewakili rakyat Indonesia
dalam mengatur tatanan pemerintah Indonesia dan sistwm Indonesia itu sendiri.
Namun, adakalanya masyarakat kita sangat asing dengan calon pemimpinnya sendiri,
tentang gaya kepemimpinan dan kepribadiannya. Disini tentu dibutuhkan suatu
metode dalam menilai dan menentukan calon pemimpin yang jujur dan
bertanggungjawab. Dalam Metode tersebut secara eksplisit sudah tertampung dalam
ilmu hadis, yaitu al-Jarh wa at-Ta’dil, yang mana ilmu ini digunakan
untuk mengkritisi kredibilitas perawi hadis. Tentunya standar kredibilitas
perawi hadis dengan standar kredibilitas pemimpin ataupun wakil rakyat, jika
ditarik benang merah maka akan terdapat beberapa kesamaan. Kemudian untuk menunjang
teori tersebut, perlunya teori-teori lain seperti teori kredibilitas yang
mencakup kejujuran dan tanggung jawab akan digunakan sebagai pendukung teori al-Jarh
wa at-Ta’dil dalam menentukan calon pemimpin ataupun wakil rakyat di
Indonesia.
Kata
Kunci : Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil,
Teori Kredibilitas, Wakil Rakyat.
A.
Pendahuluan
Indonesia adalah
negara yang besar. Negara kepulauan yang kaya akan hasil buminya yang
seharusnya kekayaanya tersebut diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.[1]
Indonesia adalah negara perjuangan, yang mana kebebasan diperoleh dengan
segenap tumpah darah para pahlawan menghadapi penjajah. Lantas bagaimanakah
Indonesia saat ini? Bagaimanakah juga kondisi rakyatnya dan semangat para
pemudanya?[2]
Semua kondisi itu juga tergantung dengan pemimpin ataupun wakil rakyat yang
mengatur sistem dan tatanan negara ini.
Memilih
pemimpin ataupun wakil rakyat di Indonesia dilakukan setiap lima tahun sekali,
mulai dari presiden, DPR, DPRD, dan lainnya secara serentak. Berbagai macam
cara dilakukan partai-partai politik untuk mengkampanyekan calonnya. Bermodal
janji-janji, para calon legislative pun tak mau kalah melakukan pendekatan
dengan masyarakat untuk memperoleh suara mereka dalam pemilu. Sampai cara-cara
tidak terpuji pun terpaksa mereka lakukan demi kursi jabatan.
Disini tentu
rakyat yang menjadi korban, dengan janji-janji yang belum pasti bahkan dengan
beribu rupiah saja suara mereka dapat terbeli oleh calon legislatif yang belum
jelas kepribadian serta tanggungjawabnya terhadap negara. Pada kondisi seperti
ini Indonesia sedang berada pada suhu-suhu tinggi yang rawan akan terjadinya
konflik internal.
Barulah setelah
mereka pemimpin, dengan berbagai perilaku serta kebijakan-kebijakannya, rakyat
akan merasakan dampaknya. Misalnya seperti kinerja DPR, mereka seharusnya
mengatur pemerintahan dengan mengamalkan pancasila dan penampung aspirasi
rakyat.[3].
sebaliknya citra DPR sudah buruk di mata rakyat, mereka tidur ketika rapat,
jalan-jalan keluar negeri dengan dalih studi banding dan masih banyak lagi
lainnya. Lalu hal ini salah siapa? Salah mereka pasti, tapi rakyat juga ikut
andil dalam masalah ini. Rakyat lah yang telah memilih mereka sebagai wakilnya.
Permasalahan
tersebut kemungkinan dapat teratasi ketika rakyat mau bersikap kritis dan
selektif dalam memilih pemimpin mereka. Jangan mudah tergiur dengan janji-janji
ataupun imbalan yang bertujuan membeli suara rakyat demi kepentingan suatu
pihak. Selain itu, badan seleksi calon wakil rakyat harus mampu menilai
kredibiltas partai dan calon legislatif dengan standar-standar yang sudah
ditentukan. Menyeleksi partai politik yang mau memikirkan kesejahteraan rakyat,
serta calon legislatif yang bertanggungjawab. Sebagaimana Hadis Nabi SAW :
عن أبي ذر قال : قلت :
يا رسول الله ألا تستعملني قال: فضرب بيده على منكبي قال : يا أبا ذر إنك ضعيف
وإنها أمانة وإنها يوم القيامة خزي وندامة إلا من أخذها بحقها وأدى الذي عليه
فيها. (رواه مسلم)
Artinya
: Dari Abu Dzar berkata, saya berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah anda
menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata : Kemudian beliau
menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda : “Wahai Abu Dzar, kamu ini
lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari
kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya
dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar. (H.R. Muslim).[4]
Sebagaimana juga dijelaskan oleh
Syaikhul Islam:
وينبغي أن يعرف الأصلح
في كل منصب فإن الولاية لها ركنان : القوة والأمانة
Artinya
: Selayaknya untuk diketahui siapakah orang yang paling layak untuk posisi
jabatan. Karena kepemimpinan yang ideal itu memiliki dua sifat dasar : yaitu
kuat (mampu) dan amanah.[5]
Dari kedua
hadis diatas diketahui bahwa menjadi seorang pemimpin adalah merupakan
tanggungjawab yang besar. Seorang pemimpin harus mampu dan amanah dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
Mengenai
masalah diatas, keurgensiannya adalah bagaimana cara rakyat memilih seorang
pemimpin dan bagaimana juga badan yang berwenang menyeleksi kredibiltas
seseorang menjadi calon pemimpin. Dibutuhkan suatu pendekatan ataupun metode
khusus dalam memandang seorang calon pemimpin, yang dalam hal ini meminjam
metode kritik perawi hadis al-Jarh wa at-Ta’dil dalam menilai
kredibilitas seorang perawi.
Meskipun ilmu al-Jarh
wa at-Ta’dil digunakan untuk menilai
kredibiltas perawi hadis, ilmu ini juga diharapkan mampu diterapkan dalam
kontekstualisasi ilmu Islam di Indonesia, khususnya dalam menentukan ataupun
mengkritisi kredibilitas seorang pemimpin atau wakil rakyat. Hal ini dilakukan
agar Indonesia memperoleh pemimpin yang jujur dan bijaksana guna kesejahteraan
bersama hari ini dan di masa yang akan datang.
B.
Pembahasan
1.
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Menurut bahasa, kata al-Jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu
yang berarti “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan
fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan nonfisik,
misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Kata
jaraha juga mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi” misal dipakai
hakim dalam perihal kesaksian.[6]
Secara Istilah, al-Jarh berarti terlihatnya sifat pada
seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahnya, dan merusak hafalan
dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur atau melemahkan riwayat hingga
kemudian ditolak.[7]
Jadi al-Jarh bisa diartikan memberikan sifat kepada seorang perawi
dengan sifat yang menyebabkan tidak diterima riwayatnya atau dho’if.
Kemudian kata Ta’dil adalah masdar dari kata ‘addala
yang memiliki arti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang.
Menurut istilah ilmu hadis, Ta’dil berarti mengemukakan sifat-sifat
bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan pribadi
periwayat dan riwayat yang disampaikan dapat diterima. Selain itu juga bisa
diartikan dengan ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau
ditolak periwayatannya.[8]
Jadi ilmu al-Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas
tentang perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang
mencela mereka, atau memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.[9]
Ada beberapa syarat yang bagi orang yang menta’dilkan (mua’ddil)
dan mentarjihkan yaitu : Berilmu pengetahuan, bertaqwa, menjahui
perbuatan-perbuatan maksiat, jujur, menjahui fanatik golongan, dan mengetahui
sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.[10]
Untuk itu tidaklah sembarang orang yang bisa mengkritisi perawi hadis dan
menyatakan bahwa periwayatannya diterima maupun ditolak, dikarenakan harus
memiliki syarat-syarat tersebut.
Dalam ilmu ini terdapat teori-teori yang telah dikemukakan oleh
ulama ahli al-Jarh wa Ta’dil dan perlu dijadikan bahan oleh peneliti
hadis ketika melakukan kegiatan penelitian, khususnya berkaitan dengan
penelitian periwayat hadis, yaitu:
(1) التعديل مقدم على الجرح
At-Ta’dil didahulukan
atas al-Tarjih, maksudnya adalah ketika seorang rawi dinilai terpuji
oleh seorang kritikus dan dinilai buruk oleh kritikus lainnya, maka yang
dimenangkan adalah nilai terpujinya. Pentarjihan dilakukan oleh kritikus ketika
ia di dapati masik fasik, sedangkan penta’dilan dilakukan oleh kritikus yang
mengetahui bahwa perawi telah bertaubat.[11]
(2) الجرح مقدم على التعديل
Al-Jarh didahulukan
atas at-Ta’dil, maksudnya adalah ketika seorang rawi dinilai tercela
oleh kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang dimenangkan
adalah nilai tercela. Hal ini dengan alasan kritikus yang mencela lebih paham
sifat perawi dan kritikus yang memuji hanya bersifat prasangka.
(3) إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إلا إذا
ثبت الجرح المفسر
Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang
mencela, maka yang haus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali ketika
kritikan yang mencela disertai dengan penjelasan atau bukti-bukti
ketercelaanya.[12]
(4) إذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه للثقة
Apabila orang yang mengkritik buruk adalah daif, maka kritikannya terhadap
orang yang tsiqah tidak sah, dikiarenakan orang yang bersifat tsiqah lebih
berhati-hati dan cermat dari pada orang yang tidak tsiqah.[13]
(5) لا يقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية الأشباه في
المجروحين
Al-Jarh tidak diterima
kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran
terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. Maksudnya adalah ketika
terdapat kesamaan nama periwayat, agar terhindar dari kekliuran maka harus
diteliti terlebih dahulu.
(6) الجرح الناشئ عن عداوة دنيوية لايعتد به
Al-Jarh yang
dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian
tidak perlu diperhatikan. Maksudnya adalah seorang kritkus yang mencela dengan
alasan memilik rasa benci atau bermusuhan dalam bentuk keduniawian maka
kritikan tersebut tidak sah atau ditolak.[14]
Dalam melakukan jarh dan ta’dil, para ulama hadis
merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai degan tingkat keburukan dan
keadilan seorang perawi. Adapaun tingkatan lafal ta’dil adalah sebagai
berikut :
Pertama, orang yang
paling tsiqah/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya.
Kedua, si fulan tidak perlu dipertanyakan lagi
tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya.
Ketiga, terpercaya lagi
terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan
yang baik.
Keempat, kokoh,
sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit.
Kelima, benar, jujur,
tidak ada masalah. Lafal tersebut hanya menunjukkan keadilannya, tetapi tidak
kedabitannya.
Keenam, syeikh, tidak
jauh dari benar, tidak baik, semoga benar. Lafal tersebut menunjukkan seorang
perawi itu sudah mendekati jarh.[15]
Sedangkan tingkatan lafal al-jarh sebagai berikut :
Pertama, menggunakan
lafal yang menunjukkan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya kata
“Manusia paling pendusta, tiangnya dusta”.
Kedua, menggunakan
lafal yang menunjukkan perawi sering berdusta, tetapi tidak sampai pada tingkat
pertama. Misalnya “Pendusta, pengada-ngada”.
Ketiga, menggunakan
lafal yang menunjukkan bahwa perawi dituduh berdusta, misalnya “Tertuduh dusta,
mencari hadis, celaka, tidak tsiqah”.
Keempat, menggunakan
lafal yang menunjukkan bahwa hadis diriwayatkan sangat lemah, misalnya “Ditolak
hadisnya, dibuang hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak ditulis
hadisnya”.
Kelima, menggunakan
lafal yang menunjukkan bahwa perawi tersebut lemah atau tidak kokoh hafalannya,
misalnya “goncang hadisnya, tidak dijadikan hujjah, dia lemah”.
Keenam, mengemukakan
sifat perawi untuk membutikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat ta’dil,
misalnya “tidak kuat, tidak termasuk hujjah, terdapat kelemahan”.[16]
2.
Teori Kredibiltias
Kredibilitas adalah keadaan/ kondisi/ perihal yang dapat dipercaya
dan bisa dipertanggungjwabkan sebagaimana mestinya.[17]
Ketika suatu organisasi akan mengadakan perubahan, maka faktor dan kredibilitas
dan kempemimpinan menjadi hal utama. Kemudian mengapa kredibilitas pemimpin
menjadi penting untuk sebuah perubahan?
Perubahan tidak akan pernah terjadi apabila tidak ada seorang
leader yang mampu menggerakkan banyak anggotanya. Perubahan dalam kelompok
bergantung pada orang-orang yang menanungi kelompok tersebut. hal ini
dikarenakan karakteristik tiap individu yang berbeda yang tentunya akan
memberikan perbedaan dalam suatu organisasi. Perubahan-perubahan yang akan
terjadi tidak selamanya memberikan dampak positif, adakalanya juga negatif. Hal
ini bergantung kepada kemampuan seorang dalam memimpin.[18]
Setiap orang ataupun kelompok tidak menginginkan sesuatu hal yang
buruk terjadi dalam kehidupannya. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu
memilih seorang pemimpin yang memiliki kriteria tertentu diantaranya adalah
kredibilitas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko buruk yang terjadi
karena perubahan suatu organisasi.[19]
Dari dalam diri seorang pemimpin, tentunya akan memunculkan
sumber-sumber energi positif seperti kepercayaan tinggi, kepemimpinan yang
mumpuni, kompetensi, kepedulian, dan komitmen yang tinggi. Semakin tinggi
nilai-nilai tersebut maka akan semakin tinggi tingkat kredibiltas seorang
pemimpin dan juga akan berdampak baik pada keberlangsungan suatu kelompok. Disisi
lain kredibilitas tidak berperan untuk memulihkan sesuatu agar kembali normal
sepenuhnya atau mengembalika kerugian potensial, tetapi hanya dapat mengurangi
ketidakpastian dan ancaman yang akan datang.
Kepemimpinan yang kredibel dapat dilihat dari kepercayaan yang
diterima seorang pemimpin. Kepercayaan timbul karena pemimpin selalu memberikan
keteladanan perilaku yang baik kepada para anggotanya. Hal tersebut bisa
dilihat dari karakter kesehariannya, sebagai seorang pemimpin harus bersikap
jujur, adil, dan rendah hati. pemimpin juga harus bisa menjadi penengah ketika
terjadi suatu konflik di suatu organisasi.
Seorang pemimpin ditinjau dari segi kompetensi, adalah seorang yang
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap-perilaku positif, inovatif dan
pengalaman yang panjang. Kompetensi ini dibutuhkan untuk memperkecil terjadinya
resiko kegagalan setiap perubahan yang mungkin akan terjadi. Selain itu
pemimpin juga harus memiliki komitmen yang diwujudkan dalam memilih anggotanya
yang benar-benar mampu dalam membantu dan mendukung kebijakannya. Selain itu
juga harus memiliki minat yang tinggi dan mengkoordinir para anggotanya untuk
mensukseskan perubahan.[20]
Dalam mencapai keberhasilan perubahan, seorang pemimpin akan
memanfaatkan daya energinya melalui optimalisasi keseimbangan, stabilitas, dan
kekuatan atas kekuasaannya. Apabila di salah satu unsur atau keseimbangan
terdapat titik lemah, maka akan membatasi kapasitas pemimpin dalam mengelola
perubahan secara maksimal.[21]
Tidak ada yang dapat menjamin seorang pemimpin tidak akan gagal, tetapi yang
perlu ditekankan adalah seorang pemimpin harus menghindari coba-coba dan obral
janji bahwa dia sanggup mengatasi semua persoalan. Untuk itu diperlukan juga
koordinasi dengan pihak-pihak terkait.
3.
Sekilas tentang wakil rakyat
Menjadi wakil rakyat telah menjadi impian banyak orang. Segala cara
akan dilakukan untuk menduduki kursi tersebut, bahkan cara-cara yang kurang
etis pun sering dilakukan. Jabatan wakil rakyat adalah jabatan kehormatan
sekaligus amanah rakyat. Mereka memiliki banyak keistimewaan dibandingkan
dengan rakyat biasa, seperti gaji yang fantastis, tunjangan jabatan, kendaraan
dinas, rumah dinas, studi banding keluar negeri/melancong dan lain sebagainya.
Sekarang ini, wakil rakyat sangat memperihatinkan, mereka yang
seharusnya membela rakyat, memikirkan kepentingan rakyat, justru malah seorang
memeras dan memanfaatkan rakyat demi kepentingan pribadi, dari mulai jabatan
tingkat biasa hingga jabatan tingkat tinggi di negara Indonesia ini. Seharusnya
para pemimpin atau wakil rakyat memiliki kepribadian sebagai berikut :
a.
Integritas
: Sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.[22]
b.
Demokratis
: Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dengan orang lain.[23]
Seorang pemimpin atau wakil rakyat harus melindungi kebebasan rakyatnya, tidak
ada paksaan terhadap rakyat.
c.
Amanah
: Seorang pemimpin harus dapat dipercaya. Ia juga harus mampu merealisasikan
janji-jani saat kampanye, menyuarakan dan memperjuangkan seluruh aspirasi
rakyat.
d.
Nasionalis : Seorang pemimpin harus mampu
mempertahankan kedautan bangsa dan negara. Bukan malah menjual asset penting
negara terhadap pihak-pihak asing tanpa sepengetahuan rakyatnya.
e.
Bertanggungjawab
: Seorang pemimpin harus bertanggungjawab atas segala keputusan dan kebijakan
selama ia memimpin. Tidak hanya menyerahkan kepada pepemimpinan selanjutnya
tanpa berusaha ikut andil atas apa yang telah ia perbuat.
4.
Kontekstualisasi Ilmu al-Jarh wa Ta’dil
Penerapan teori al-jarh wa at-ta’dil dapat dilihat
dari syarat-syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin, baik berhubungan
dengan sifat, kepribadian, karakter dan lain sebagainya. Ketika ada banyak yang
menganggap calon pemimpin itu baik dengan memaparkan bukti-bukti yang jelas,
maka itu adalah calon pemimpin yang ideal, begitupun sebaliknya.
Sebelumnya telah disebutkan teori yang berkenaan dengan al jarh
wa ta’dil, berikut penerapannya dalam konteks memilih seorang pemimpin. Pertama,
seorang calon pemimpin yang ketika mendapat komentar positif dan juga komentar
negatif, maka seharusnya lebih melihat komentar positif dengan alasan perbuatan
buruk calon pemimpin adalah masa lalu, yang kemudian sekarang ini telah
melakukan perbaikan diri dengan sungguh-sungguh. Untuk itu calon pemimpin
seperti ini termasuk pada kriteria pemimpin yang baik.
Kedua, ketika seorang
calon pemimpin dinilai buruk oleh sebagian orang tetapi juga dinilai baik oleh
sebagian orang, maka harus dicermati terlebih dahulu siapa yang mencela dan
siapa yang memuji. Ketika ternyata yang mencela adakah orang yang paham dan
tahu akan karakter calon pemimpin, sedangkan yang memuji hanya karena
perasangka ataupun faktor lain, maka yang harus diperhatikan adalah calon
tersebut tidak layak menjadi seorang pemimpin.
Ketiga, sering
terjadi sebuah perdebatan antara kelompok satu dengan kelompok lain tentang
baik buruknya calon pemimpin. Perdebatan seperti ini lumrah terjadi. Seharusnya
rakyat tidak boleh asal bela ataupun mencela tanpa adanya penelitian ataupun
bukti yang akurat tentang calon pemimpin tersebut.
Keempat, ketika calon
pemimpin adalah seorang yang dikenal oleh banyak orang sebagai pribadi yang
alim, santun, sedangkan yang mengkritik adalah seorang dengan pribadi yang
lemah atau tidak kompeten, maka kritikan buruk terhadapnya tidak dapat
dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan.[24]
Rakyat jangan mudah terprovokasi dengan komentar-komentar orang yang tidak
mengetahui ilmunya dan asal bicara tanpa dasar yang kuat.
Kelima, rakyat harus
mengenal dan mengetahui calon pemimpin mulai minimal nama dan wajahnya. Jangan
sampai rakyat dijadikan bingung oleh pembolak balikan fakta terkait kasus atau
keburukan yang telah dilakukan oleh salah satu calon pemimpin. Dengan mengenal
calon pemimpin, maka akan terhindar keslahpahaman atapun fitnah tentang calon
tersebut.
Keenam, seorang calon
pemimpin yang menerima kritikan dari seorang yang memang sudah diketahui
memiliki dendam ataupun permusuhan terhadapnya, maka tidak bisa dijadikan acuan
dalam penilain. Karena penilaian yang berlandaskan perasaan tentu tidak
objektif.
Teori-teori diatas tentunya juga sangat relevan dengan teori
kredibiltas seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki sifat integritas,
demokratis, cinta tanah air, amanah, serta bertanggungjawab. Rakyat bisa
menentukan pilihannya dengan melihat kriteria-kriteria tersebut. Seorang
pemimpin bisa melakukan perubahan besar dalam suatu negara dengan kebijakan dan
kekuasaanya.
Disamping itu juga, calon pemimpin harus mampu merealisasikan
janji-janjinya yang telah diucapkan kepada rakyat. Rakyat juga harus selektif,
jangan mau terbuai janji. Melihat karakter calon pemimpin dengan janji-janji
yang ia sebutkan, tentu nanti akan terlihat batas kesanggupannya. Janji yang
benar-benar nyata, atau hanya sebuah pemanis kata.
Badan penyeleksi atau dalam pemilu disebut dengan KPU harus
berperan aktif dan selektif dan menilai para calon pemimpin serta parta politik
yang mengusungnya.[25]
Jangan hanya menilai baik dikarenakan ada imbalannya, ataupun menilai buruk
karena ada permasalahan. Informasi tentang kredibiltas calon pemimpin ini yang
seharusnya rakyat juga mengetahui, bukan malah menjadikannya bahan provokasi
yang menaikkan ataupun menjatuhkan salah satu pihak. Hal ini akan berdampak
pada negara Indonesia kedepan.
C.
Refleksi
Metode ilmu al-ajrh
wa at-ta’dil dan teori kredibilitas seorang pemimpin diharapkan bisa
membantu masyarakat dalam menentukan calon pemimpin yang ideal. Disini penulis
melihat bahwa syarat menjadi pengkritis pemimpin atau dalam pemilu disebut KPU
harus memiliki syarat-syarat yang tidak mudah seperti syarat yang ada pada ilmu
al-jarh wa at-ta’dil.
Penulis
meragukan apakah KPU di Indonesia dengan segenap anggotanya sudah memiliki
kriteria tersebut, seperti bertaqwa, jujur, tidak memihak pada suatu golongan
dan lainnya. Seperti yang sudah terjadi, terdapat isu-isu kecurangan dalam
pemilu yang menunjukkan adanya keberpihakan kepada salah satu pihak pasangan
calon. Meskipun hal tersebut belum dikonfirmasi dengan bukti-bukti yang kuat,
tentu ini akan mengganggu stabilitas negara dan suara rakyat.
Kemudian,
melihat negara Indonesia yang sekarang ini masih dalam keadaan panas politik,
rakyat Indonesia pun dengan mudahnya disulut dengan bumbu-bumbu politik yang
sebenarnya belum dipastikan benar tidaknya. Rakyat Indonesia yang tidak selektif,
tentu dengan mudah menginginkan hasil yang baik tapi dengan janji yang tidak
pasti. Mudah mengingat satu keburukan dibandingkan dengan beberapa kebaikan dan
menilai bahwa itu buruk.
Merasa bahwa
pemimpin yang sekarang ini harus bertanggung jawab atas segala kekurangan
ataupu ketidakstabilan negara ini dengan mengembalikannya kepada keadaan yang
normal. Padahal tidak seperti itu fungsi pemimpin. Pemimpin yang terpilih tentu
akan melakukan perubahan kearah yang baik, tapi bukan jaminan untuk mengembalikan
keadaan seperti semula. Tentu saja perubahan-perubahan tersebut membutuhkan
waktu yang tidak singkat.
D.
Penutup
Ilmu al-jarh
wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang perawi dari segi apa yang
datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji mereka
dengan menggunakan kata-kata khusus, sehingga menyebabkan dierima atau ditolak
periwayatannya.
Ilmu ini bisa
juga diterapkan dalam kontektualisasi di Indonesia yaitu memilih pemimpin atau
wakil rakyat. Terdapat beberapa syarat ataupu kriteria yang harus dimiliki
seorang calon pemimpin begitu juga badan penyeleksi KPU. Metode ini juga didukung oleh teori
kredibilitas pemimpin yang menyatakan bahwa pemimpin haruslah berintegritas,
demokratis, amanah, jujur, adil, nasionalis, peduli terhadap rakyat dan
bertanggingjawab.
Dengan kedua
cara tersebut, diharapkan dapat membantu rakyat Indonesia dalam menentukan
pilihan pada calon pemimpin pada waktu pemilu yang akan datang, agar tidak
tertipu dengan janji-janji yang belum pasti.
Daftar Pustaka
Abur
Hamdi Usman dkk, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Criticism and Praise) : It’s
Significant in the Science of Hadith, Mediteranian Journal of Social
Science, Vol. 6, no. 2, 289-290.
Aeni,
Aini Nur. Pendidikan Karakter untuk Mahasiswa PGSD. Bandung : UPI
Press. 2016.
Al-Khatib,
Ajaz. Ulum al Hadis Ulumuhu wa Musthalahatuhu. Damaskus : Dar al-Fikr.
1975.
Al
Qhatthan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : Pustaka
al-Kautsar. 2005.
Chamim,
Mardhiyah dkk. Menjadi Indonesia ; Surat Dari & Untuk Pemimpin.
Jakarta : Tempo Inti Media. 2017.
David
L. Mineo, The Important of Trust in Leadership, Research Management
Review, Volume 20, no. 1, 2.
Elseiver, The Leadership Quarterly : State of the journal,
article in press, 1-2.
Gunawan, Markus. Buku Pintar Calon Anggota Legislatif. Jakarta
: Visimedia. 2008.
Ismail,
M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta :Bulan Bintang.
2007.
Khon,
Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah. 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi online https://kbbi.web.id/integritas.html
Mahdi,
Abdul. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil Qowaiduhu wa Aimmatuhu. Kairo :
al-Azhar. 1998.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung :
al-Ma’arif. 1974.
Sahih Muslim no. 3404 dan 3405
Samuel
S. Hemby, Creating a Leader Credibility Climate as Modeled in The Leadership
of Jesus, the journal of biblical perspectives in leadership, Vol. 7, no.
1, 47-48.
Sinamo,
Jansen & Agus Santosa. Pemimpin Kredibel Pemimpin Visioner. Jakarta
: Darma Mahardika. 2012.
S.K,
Wahyono. Indonesia Negara Maritim. Jakarta : Teraju. 2007.
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar’iyah. Beirut : Dar
al-Afaq al-Jadidah. 1998.
Tugas
dan Kewenangan KPU dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan
Umum
Yuslem, Nawir. Sembilan Kitab Induk Hadis. Jakarta : Hijri
Pustaka Utama. 2006.
Zaker Ahmed Khan dkk, Leadeship Theories and Style : A Literature Review, The Journal
of Resources Develeopment and Management, Vol. 16, 4-5.
[1] Wahyono S.K, Indonesia Negara Maritim,
(Jakarta : Teraju, 2007), 11.
[2] Mardhiyah
Chamim dkk, Menjadi Indonesia ; Surat Dari & Untuk Pemimpin,
(Jakarta : Tempo Inti Media, 2017), 33-34.
[3] Markus
Gunawan, Buku Pintar Calon Anggota Legislatif, (Jakarta : Visimedia,
2008),14-16.
[4] Sahih Muslim
no. 3404 dan 3405
[5] Ibnu Taimiyah,
Al-Siyasah al-Syar’iyah, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1998), 15.
[6] M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,(Jakarta :Bulan Bintang, 2007),68-69
[7] Manaa’ al
Qhatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar,
2005), 82.
[8] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung : al-Ma’arif, 1974), 307.
[9] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2012), 95.
[10] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis,..
310.
[11] Ajaz
al-Khatib, Ulum al Hadis Ulumuhu wa Musthalahatuhu, (Damaskus : Dar
al-Fikr, 1975), 267.
[12] M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,.. 74-75.
[13] Abdul Mahdi, Ilmu
al-Jarh wa at-Ta’dil Qowaiduhu wa Aimmatuhu, (Kairo : al-Azhar, 1998), 92.
[14] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi,.. 76-77.
[15] Nawir Yuslem, Sembilan
Kitab Induk Hadis, (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006), 174.
[16] Abur Hamdi
Usman dkk, Al-Jarh wa at-Ta’dil (Criticism and Praise) : It’s Significant in
the Science of Hadith, Mediteranian Journal of Social Science, Vol. 6, no.
2, 289-290.
[17] Jansen Sinamo
& Agus Santosa, Pemimpin Kredibel Pemimpin Visioner, (Jakarta :
Darma Mahardika, 2012), 118.
[18] David L.
Mineo, The Important of Trust in Leadership, Research Management Review,
Volume 20, no. 1, 2.
[19] Samuel S.
Hemby, Creating a Leader Credibility Climate as Modeled in The Leadership of
Jesus, the journal of biblical perspectives in leadership, Vol. 7, no. 1,
47-48.
[20] Zaker Ahmed
Khan dkk, Leadeship Theories and
Style : A Literature Review, The Journal of Resources Develeopment
and Management, Vol. 16, 4-5.
[21] Elseiver, The
Leadership Quarterly : State of the journal, article in press, 1-2.
[22] Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi online
https://kbbi.web.id/integritas.html
[23] Ani Nur Aeni, Pendidikan
Karakter untuk Mahasiswa PGSD, (Bandung : UPI Press, 2016),62.
[24] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi,.. 76.
[25] Tugas dan
Kewenangan KPU dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum
0 komentar:
Posting Komentar