Kamis, 28 Februari 2019

Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqih


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah disepakati oleh para ulama’ meskipun berlainan madzhab, bahwa ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjajanjian, atau pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hokum di dalam syari’at islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelasakan oleh berbagai nas yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nas dalam Al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum itu, dimana dngan perantara dalil dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nas dalam berbagai kasus yang ada nasnya, maupun yang diistinbatkan dari berbagai dalil dalam kasus-kasus yang tidak ada nasnya, terbentuklah Ushul Fiqih.
Oleh sebab inilah, maka para ulama’ telah membahas terhadap masing-masing dari dalil ini dan terhadap argument yang dianggap sebagai hujjah terhadap manusia an sumber syari’at yang harus diikuti segala ketetapannya.

B.     Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian dan ruang lingkup Ushul Fiqih?
2.       Bagaimana sejarah perkembangan Ushul Fiqih?
3.       Bagaimana aliran-aliran dalam Ushul Fiqih


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ushul Fiqih dan ruang lingkupnya
1.         Pengertian Ushul fiqh
Ushul fiqh menurut bahasa berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata ushul dan fiqh. Ushul merupakan kata jamak dari ashl, yang artinya dasar atau pokok, sedangkan fiqh adalah pemahaman yang mendalam.[1]
Sedangkan definisi Ushul Fiqh menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tentang berbagai kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.[2]
2.         Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Ruang lingkup pembahasan Ushul Fiqh meliput empat bagian, yaitu :
a.       Pembahasan tentang dalil
Pembahasan tentang dalil dalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara global. Disini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkat-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
b.      Pembahasan tentang hukum
Pembahasan tentang hukum didalam Ilmu Ushul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi ukum(al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
c.       Pembahasan tentang qa’idah
Pembahasan tentang qa’idah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
d.      Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.[3]

B.     Sejarah perkembangan Ushul Fiqih
1. Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya ada dua, yaitubAl-Qur’an dan As-sunah. Apabila terjadi suatu kasus, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan kasus hukum tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dengan hadits.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidp, seluruh permasalahan fiqih (hukum islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadits Muadz Bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul ke Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz sebagai berikut:[4]
“ (Rasulullah SAW bertanya), bagaimana engkau memutuskan suatu persoalan yang datang padamu? Ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’an), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan daam Kitabullah?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertnaya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Hasil ijtiahad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan dan pengakuan dari Nabi dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.
Jadi, pada waktu itu ijtihad yang dilakukan bukan merupakan sumber hukum, karena keberadaan dan berlakunya hasil ijtihad kembali kepada wahyu.[5]
2. Masa Sahabat
            Wafatnya Rasulullah SAW menggoreskan catatan baru dalam penetapan hukum. Munculnya para sahabat besar setelah Nabi wafat melahirkan permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Nabi terkait dengan metode penetapan hukum. Untuk menetapkan hukum baru maka diantara sahabat berijtihad dengan bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits. Maka pada masa sahabat ini sumber hukum bukan lagi hanya Al-Qur’an dan Hadits tetapi ditambah dengan ijtihad sahabat.[6]
            Mereka yang kemudian dikenal dengan banyak melakuka ijtihad adalah yang mengikuti langsung praktek tasyri’ dari Rasulullah SAW. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul selalu menyertainya dan menyaksikan langsung praktek ijtihad Rasul.
            Cara yang dilakukan oleh sahabat dalam ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abd Wahab Abu Sulaiman, guru besar ushul fiqih Universitas Ummul Quro Mekkah seperti dikutip oleh Satria Efendy, langkah pertama yang mereka mampu tempuh adalah mempelajari Al-Qur’an dan kemudian Sunnah Nabi. Jika tidak ditemukan pada kedua sumber ini maka mereka melakukan ijtihad, baik secara perorangan atau mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah.
            Dengan demikian, prakarsa ijtihad yang dilakukan oleh sahabat setelah wafat Rasulullah telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat waktu itu. menurut Abu Zahra, ijtihad para sahabat kemudian mewariskan metodologi yang dijadikan dasar dalam merumuskan ushul fiqih.[7]
3.      Masa Tabi’in
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode tabi’in sekitar abad ke 2 dan ke 3 hijriyah. Pada masa ini daulah islamiyyah sudah semakin berkembang dan banyak muncul kejadian baru. Berbagai kesulitan, perselisihan dan pandangan serta pembangunan material dan spiritual satu persatu bermunculan. Sumber hukum yang mereka gunakan pada masa ini adalah sumber hukum pada dua periode sebelumnya (periode Nabi dan sahaba). Jadi sumber hukum fiqih pada periode ini terdiri dari hukum Allah (Al-Qur’an), Rasul (Hadits), fatwa dan keputusan sahabat Rasul.
Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqih menyimpulkan bahwa pada  masa tabi’in ini, metode istinbat sudah mengalami perluasan yang pesat dikarenakan banyaknya kejadian yang muncul akibat bertambah meluasnya wilayah kekuasaan islam. Fenomena ini membawa konsekuensi kepada menculnya permasalahan baru yan memerukan pemecahan hukumnya. Diantara tabi’in yang memiliki kemampuan tinggi untuk berfatwa adalah Sa’id bin al-Musayyab (15H-94H) di Mdinah, al Qoma’ah ibn Qays (w.62H), Ibrahim al-Nakha’I (w.96H).[8]
4.      Masa Pembukuan
Setelah kekuasaan Islam semakin bertambah luas dan bangsa arab sudah memprluas pergaulannya dengan bangsa lain baik dalm bentuk lisan maupun tulisan. Sehingga terjadilah penyerpan bahasa asing dalam bentuk mufrodat dan tata bahasa ke dalam bahasa arab yang menimbulkan kesamaran-kesamaran dan kemugkinan lain dalm rangka memahami nas. Dari latar belakang itulah maka perlu disusun batasan-batasan dan kaidah bahasa yang dengan kaidah itu nas dapat dipahami orang arab memahaminya.
Tercatat dalam sejarah, ketika pembentukan hukum islam sudah semakin meluas dan permasalahan hukum sudah semakin kompleks. Terjadilah perdebatan antara ahlul hadis dan ahlu ar-ra’yi. Dipihak lain semakin berani juga orang-orang yang tidak ahli agama (ahlul ahwa’) menjadikan sesuatu sebagai hujjah padahal sesuatu itu bukan hujjah dan sebaliknya mereka mengingkari sesuatu yang justru hal itu adalah hujjah. Semua ini merupakan dorongan yang kuat untuk menyusun batasan-batasan tentang dalil syari’at, syarat-syarat serta cara menggunakan dalil. Semua pembahasan yang berhubungan dengan dalil-dalil serta batasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma menjadi ilmu Ushul Fiqih.
Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab ushul fiqih adalah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Penghujung abad ke 2 dan ke 3 hijriyah muncul ulama’ bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150H-204H) yang menggagas, meramu, mensistematiskan dan membukukan ilmu ushul fiqih dalam kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang ushul fiqih yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal dikalangan ulama’ bahwa beliau adalah pencipta ushul fiqih.[9]
5.      Masa Ulama
Setelah Imam Syafi’I menyusun kitabnya yang monumental itu, kemudian berbondong-bondonglah ulama menyusun ilmu ushul fiqih baik dalam bentuk yang panjang lebar (ishab)  maupun ringkas (ijaz). Tak ketinggalan ulama kalam(ahli teologi), menyusun ilmu ini dengan caranya sendiri begitu pula ulama hanafiah juga menyusun ilmu ushul fiqih ini dengan caranya sendiri.
      Berdasarkan penelitian Abdul Wahab Khallaf, beliau menyimpulkan bahwa ilmu ushul fiqih tidaklah langsung menjadi ilmu yang pesat. Akan tetapi, sedikit demi sedikit terus berkembang menjadi pesat. Tercatat dalam sejarah, setelah mencapai perjalanan 200 tahun barulah ilmu ushul fiqih tumbuh dengan subur, tersebar disela-sela hukum fiqih.[10]
C.     Aliran-aliran dalam Ushul Fiqih
1.      Aliran Mutakallimin
Disebut juga aliran jumhur ulama, karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama yang terdiri dari kalangan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Disebut juga aliran Syafi’iyah, karena orang yang pertama kali mewujudkan penulisan ushul fiqih seperti ini adalah Imam Syafi’i. disebut juga aliran Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah Imam Syafi’I adalah dari kalangan Mutakallimin (para ahli ilmu kalam) seperti Imam al-Juwaeni, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam al-Ghazali.[11]
Para ulama dalam aliran ini pembahasannya dengan menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam, yakni menetapkan qa’idah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqli (Al-Qur’an atau Sunnah) maupun dari dalil ‘aqli (dengan akal pikiran) tanpa terikat dengan hukum-hukum furu’ yang telah ada dari madzhab manapun, sesuai atau tidak sesuai antara qa’idah dengan hukum-hukum furu’ tersebut tidak menjadi persoalan. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu’tazilah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.[12]
2.      Aliran Hanafiyah (Ahnaf)
Metode Ahnaf dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikembangkan oleh ulama Hanafiyah. Aliran ini disebut juga aliran fuqaha (ahli fiqih), karena sitem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqih, mereka berpedoman kepada pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
        Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqro’ (induksi), terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan makna dan batasa-batasan yang mereka gunakan. Sehingga metode ini mengambil konklusi darinya. Metode yang digunakan oleh aliran Hanafiyah dalam menyusun kaidah-kaidah, ditempuh berdasarkan asumsi bahwa imamnya terdahulu telah menyandarkan ijtihadnya  kepada kaidah-kaidah atau batasan-batasan ushuliyah tersebut. Jadi, mereka tidak menetapkan kaidah-kaidah amaliyah sebagai cabang dari kaidah itu. Adapun yang mendorong mereka untuk membuktikan kaidah-kaidah itu adalah beberapa hukum yang telah di istinbatkan oleh para imamnya dengan bersandar kepadanya bukan hanya sekedar dalil yang versifat teoritis. Oleh karena itu, mereka banyak menyebitkan masalh furu’ dalam beberapa kitabnya.
        Pada saat yang lain mereka pun menaruh perhatian serius terhadap kaidah-kaidah ushuliyah tentang masalah-masalah yang telah disepakati kepada furu’. Jadi, semata-mata perhatian ini tertuju kepada masalah ushul fiqih para imamnya yang diambil dari maslah-masalah furu’ dalam melakukan istinbat.[13]
3.      Aliran Campuran
Merupakan metode gabungan antara metode Mutakallimin dan metode Hanafiyah. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasikan kedua aliran terdahulu yang telah dijelaskan di atas. Mereka memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dalil-dalil atas kaidah itu, juga memperhatikan terhadap aspek penerapannya dan hubungannya dengna masalah furu’.[14]








DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
https:// Sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqih-files (diakses tanggal 18 Mei 2014 pukul 10:13 WIB)
Khallaf, Abdul Wahab,  ilmu ushul fiqh, Mesir: Maktabah al-dakwah al-islamiyyah.
Khallaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Muin, Umar, Ushul Fiqh, Jakarta: Pembinaan dan sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985.
Shiddiq, Sapiudin, Ushul Fiqih,  Jakarta: Kencana, 2011.
Umar, Mu’in dkk, ushul fiqh I, Jakarta: Depag RI, 1985.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Damaskus : Daar al-fikr, 1958.



[1] Hasbiyallah, fiqh dan ushul fiqh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),  hal. 1
[2] Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 2
[3] Muin Umar dkk, ushul fiqh I, (Jakarta: Depag RI, 1985), hal. 5
[4]https:// Sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-fiqih-files (diakses tanggal 18 Mei 2014 pukul 10:13 WIB)
[5] Mu’in Umar dkk, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Depag RI, 1985), hal. 13
[6] Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 10
[7] Muhammad Abu Zahra, ushul fiqih, ( Damaskus: Daar al-fikr, 1958), hal. 11
[8] Muhammad Abu Zahra, ushul fiqih,… hal.11
[9] Mu’in Umar dkk, Ushul Fiqih I, ( Jakarta: Depag RI, 1985), hal. 16
[10] Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqh, (Mesir: Maktabah al-dakwah al-islamiyyah), hlm.17
[11] Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 16
[12] Umar Muin, Ushul Fiqh,(Jakarta: Pembinaan dan sarana Perguruan Tinggi Agama, 1985), hal. 16
[13] Sapiudin Shiddiq, Ushul Fiqh,… hal.16
[14] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal. 11

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI