INTEGRASI AGAMA DAN
FILSAFAT
Very Aulia
Rahman
Abstrak
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama
yang dilakukan adalah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab. Kemudian penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab
secara sistematis dan berkembang pada masa Khalifal Al- Ma’mun (813 – 833 M).
Tahap selanjutnya adalah munculnya filosof-filosof muslim seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Masing-masing tokoh tersebut
memiliki pemikiran dan teori yang berbeda-beda dan terdapat sebuah pertentangan
argument satu dengan lainnya. Dalam pembahasan ini, akan diuraikan secara
sederhana mengenai salah satu tokoh filsafat yaitu Ibnu Rusyd beserta
pemikirannya. Sebagai seorang filosof, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu
Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik
filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof
muslim sebelumnya. Dalam filsafatnya, Ibnu Rusyd sangat mengagumi filsafat
Aristoteles dan banyak memberikan banyak ulasan-ulasan atau komentar terhadap
filsafat Aristoteles. Disini akan diuraikan secara ringkas mengenai pemikiran
Ibnu Rusyd tentang integrasi agama dan filsafat yang secara lengkapnya sudah
dijelaskan di dalam kitabnya “Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy
syari’ati min al ittishal” (persesuaian antara filsafat dan syari’ah),
serta tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritik al-Ghazali yang ditujukan kepada
filosof-filosof Barat.
Kata Kunci : Agama dan Filsafat, Ibnu Rusyd, Fash al Maqal fi ma baina al hikmah
wa asy syari’ati min al ittishal.
A. Pendahuluan
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama
dengan filsafat. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara
mempertemukan agama dengan filsafat? Sebagaimana yang kita tahu bahwa agama
adalah sebagai wahyu Tuhan sedangkan filsafat adalah sebagai hasil ciptaan dan
pemikiran manusia. Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus
dipertemukan dengan kebenara pemikiran dan logika manusia.
Dari pertanyaan diatas, terdapat tiga alternatif jawaban sebagai berikut
: Pertama, berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat. Kedua, berpegang
teguh kepada filsafat dan menolak agama. Ini adalah pendapat orang yang
berfilsafat dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah agama. Ketiga, mengupayakan
pemaduan ataupun penyelarasan antara agama dan filsafat. Ini merupakan usaha
yang dilakukan oleh para filosof muslim termasuk juga di dalamnya adah Ibnu
Rusyd.[1]
Wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu objek
yang kajian yang menjadi tuntutan lingkungan Islam terutama menurut para
filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu
kebenaran yang tidak dapat diragukan. Mereka juga menghormati nilai-nilai dan
prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas
filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran yang tidak diragukan lagi.[2]
Oleh alasan itu, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan juga
tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Upaya memadukan keduanya antara agama
dan filsafat adalah kemungkinan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan, serta
berusaha menyingkirkan hal-hal yang nampak bertentangan diantara keduanya.
B. Pembahasan
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof muslim yang banyak memberikan komentar
terhadap pemikiran Aristoteles. Beliau menghabiskan waktunya untuk membuat
syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, serta ingin mengembalikan
pemikiran Aristoteles dalam bentuk Aslinya. Jadi tidak mengherankan jika
pemikiran Ibnu Rusyd dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Di Eropa latin, Ibnu
Rusyd dikenal dengan nama Explainer atau juru tafsir Aristoteles,
sehingga posisi beliau bisa disejajarkan dengan para filosof Barat lainnya yang
menafsirkan filsafat Aristoteles.[3]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh
filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami
filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat beliau tidak
bisa lepas dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, pemikiran
Aristoteles telah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa
komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, atas saran gurunya yaitu
Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd diminta untuk menerjemahkan pikiran-pikiran Aristoteles
sehingga ia dianggap memiliki jasa yang besar dalam memurnikan kembali filsafat
Aristoteles.[4]
Namun demikian, meskipun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan
berarti dalam bersilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat
Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan sendiri terhadap tema-tema
filsafat yang menjadikannya sebagai filosof besar dan terkenal dari masa klasik
hingga masa sekarang.
1. Motif sinkretisme agama dan filsafat Ibnu
Rusyd
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa mendamaikan dan mengaharmonisasikan antara
agama dan filsafat adalah mungkin, jika bisa dibuktikan kemustahilan adanya
pertentangan orisinil dan fundamental antara filsafat dan agama. Begitu juga
syari’at yang apabila dita’wilkan secara benar akan sesuai dengan filsafat yang
dipahami secara benar juga, karena tujuan utama syari’at agama adalah
mengajarkan ilmu dan amal yang benar. Ini adalah pemikiran Ibnu Rusyd pada
sebuah logika.[5]
Ibnu Rusyd terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dan filsafat,
bahkan melebihi para filosof sebelumnya. Dalam kitabnya Fash al Maqal fi ma
baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal, ia mampu menjelaskan
secara panjang dan mendalam tentang pemaduan antara agama dan filsafat.[6]
Terlebih dengan adanya komentar tajam al-Ghazali, Ibnu Rusyd merasa harus
melakukan pembelaan terhadap filsafat dengan menjelaskan bahwa filsafat tidak
bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusannya.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keingin Ibnu Rusyd dalam
memadukan agama dan filsafat :
a. Ada beberapa ulama yang membeberkan hikmah seluruhnya kepada masayarakat
sekaligus pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut pemahamannya sendiri,
sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman mengenai syari’at dengan hikmah.
b. Latar belakang kondisi sosiokultural masyarakat Islam terutama di
wilayah Andalusia, yang mana pengikut madzhab Maliki yang mendominasi disana
tidak begitu peduli terhadap filsafat bahkan cenderung memusuhi.
c. Konflik dan sengketa yang berkepanjangan antara sekte-sekte Islam yang
ada, yang masing-masing mengaku masih berpegang teguh pada keaslian syari’at.
d. Ekstrimitas Ibnu Rusyd dalam mengagumi Aristoteles. Ibnu Rusyd ingin
menjelaskan bahwa kekagumannya pada Aristoteles dan penyanjungannya pada
pemikiran dan filsafat Aristoteles tidaklah mengeluarkannya dari Agama.[7]
2. Keharusan berfilsafat menurut syara’
Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antara agama dan filsafat
sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara
yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.[8]
Dalam kitabnya Fash al Maqal, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari
filsafat bisa dihukumi wajib. Filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan
tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang
membuatnya. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud / ciptaan
Tuhan, maka semakin sempurna ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya
Tuhan. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan, bahwa Allah mendorong manusia untuk
menggunakan nalarnya dalam merenungi ciptaan-Nya.
Apabila seseorang dalam pemikirannya semakin jauh dengan dalil-dalil
syara’, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, ia tidak memiliki kemampuan/ kapasitas
yang memadai dalam dunia filsafat. Kedua, ketidakmampuan dirinya untuk
mengendalikan diri agar tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama.
Ketiga, karena ketiadaan pendamping / guru yang handal yang bisa membimbingnya
memahami dengan benar suatu objek pemikiran tertentu. Masalah tersebut muncul
dikarenakan manusia memiliki tingkat intelektualitas/ pemahaman yang
berbeda-beda. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengelompokkan manusia berdasarkan
metode kemampuan menerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan
menjadi 3 macam :
a. Metode al Khatabiyyah (Retorika)
Metode ini digunakan
orang yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang
berpikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia.
b. Metode al Jadaliyyah (Dialektika)
Metode ini digunakan
oleh orang yang termasuk ahli dalam melakukan takwil dialektika. Mereka secara
alamiah atau tradisi mapu berpikir secara dialektik.
c. Metode al Burhaniyyah (Demonstratif)
Metode ini digunakan
oleh orang yang termasuk dalam ahli takwil yaqini. Mereka secara alamiah mampu
karena latihan, yaitu latihan filsafat sehingga dapat berpikir demonstratif.[9]
3. Keharusan Ta’wil
Para filosof bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber
pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dan
Hadist terdapat nash yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Menurut
Ibnu Rusyd, nash-nash tersebut dapat dita’wilkan selama memenuhi aturan-aturan
ta’wil.
Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang
dari syara’ diartikan menurut lahirnya, tetapi juga harus melihat makna
batinnya.[10]
Dengan demikian, ada makna lahir dan makna batin. Bila arti lahir sesuai dengan
hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau berlawanan maka harus
dicari pena’wilannya. Jadi arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu kata dari
arti sebenarnya kepada arti yang majazi.
Dalam melakukan ta’wil, ada beberapa aturan sebagai berikut :
a. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip syara’ dan mengikutinya.
b. Yang berhak mengadakan ta’wil adalah dari pihak tertentu saja yang
meiliki kemampuan mendalam di bidangnya, untuk menghindari perpecahan dan
golongan-golongan baru dalam Islam.
c. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan para filosof,
bukan kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui makna lahirnya nash.
d. Kaum muslim bersepakat bahwa dalam syara’ ada tiga bagian yaitu : bagian
yang harus diartikan menurut lahirnya, bagian yang harus dita’wilkan, dan
bagian yang masih diperselisihkan.[11]
4. Kedudukan wahyu dan hubungannya dengan akal
Meskipun Ibnu Rusyd sangat memuja kekuatan akal dan mempercayai
kesanggupannya untuk mengetahui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada
hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahui. Karena
itu, dalam hal ini harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk
menyempurnakan akal.
Dalam bukunya, Tahafut at Tahafut ia menyatakan, “segala sesuatu
yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan akan memberikannya kepada manusia
melalui wahyu”. Seperti contohnya dalam permasalahan bagaimana mengetahui
Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat,
serta mengetahui jalan menuju kebahagiaan dan menjauhkan dari kesengsaraan.
Persoalan-persoalan tersebut, sebagian tidak
akan bisa dijelaskan secara sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila
dijelaskan dengan wahyu maka lebih utama. Filsafat bertujuan mengamalkan
tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari mereka, yaitu yang mempunyai
kesanggupan mempelajarinya. Sedangkan syara’ memberikan tuntunan atau pelajaran
kepada orang banyak secara umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu
menjadi rahmat bagi semua orang. Jadi menurut Ibnu Rusyd, wahyu dianggap suatu
keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada
dibawah kekuatan wahyu. Inilah yang terungkap dari dalam kedua bukunya yaitu Manahij
al Adilah dan Tahafut at Tahafut.[12]
5. Tanggapan terhadap al-Ghazali
Ibnu Rusyd dikenal oleh banyak orang sebagai
filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya Tahafut at
Tahafut yang merupakan reaksi buku al-Ghazali yang berjudul Tahafut
Falasifah. Dalam bukunya Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat
Yunani dan umat Islam yang telah dikritik tajam oleh al-Ghazali. Perdebatan
panjang antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali kiranya tidak akan pernah selesai.
Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat dari
kedua pemikir Islam tesebut.
Salah satu faktor terjadinya perdebatan mungkin
dikarenakan al-Ghazali adaalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Timur,
sedangkan Ibnu Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam
di daerah Barat. Dengan melihat karya kedua pemikir tersebut, tentu bisa kita
temukan bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami
perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Melalui buku Tahafut Falasifah (kekacauan
pemikiran para filosof), al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para
filosof dalam 20 masalah. Dalam rangka pembelaan itulah kemudian Ibnu Rusyd
menulis buku Tahafut at Tahafut (kekacauan dalam kekacauan). Berikut
adalah hal-hal yang menjadi perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd :[13]
1.
Alam qadim
2.
Keabadian
alam, masa, dan gerak
3.
Konsep
Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; ungkapan
ini bersifat metaforis
4.
Demonstrasi/pembuktian
eksistensi penciptaan alam
5.
Argumen
rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud
6.
Penolakan
akan sifat-sifat Tuhan
7.
Kemustahilan
konsep genus (jins) kepada Tuhan
8.
Wujud Tuhan
adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9.
Argumen
rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10. Argument rasional tentang sebab dan penciptaan alam (hukum alam tidak
dapat berubah)
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui spesies
dan secara universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan
secara umum
14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya
15. Tuhan yang menggerakkan
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui particular-partikular yang bermula
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya,
tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh dan bukan tubuh
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya
membuat mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Menurut
al-Ghazali, dari 20 persoalan diatas, ada 3 hal dari masalah tersebut yang yang
dapat menyebabkan kekafiran. Hal ini dianggap paling membahayakan kestabilan
umat.
1. Pendapat filosof tentang qadimnya alam
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof
bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima di kalangan
teologi Islam. Karena menurut konsep teolgi Islam, Tuhan adalah pencipta.
Pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak
bermula, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat inilah yang
memunculkan bentuk kekafiran.[14]
Ibnu Rusyd, begitu juga filosof lainnya
berpendapat bahwa dari yang tidak ada atau kekosongan, tidak mungkin berubah
menjadi ada. Yang mungkin terjadi yaitu dari “ada” yang berubah menjadi “ada”
dalam bentuk lain. Pendapat ini didukung penjelasan ayat Al-Qur’an yang
mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah
ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuk pada Al-Qur’an surat
Ibrahim ayat 47-48 :
فلا تحسبن الله مخلف وعده رسله إنالله عزيز ذو انتقام *
يوم تبدل الأرض غىر الأرض والسماوات وبرزوا لله الواحد القهار * (ابراهيم :
47-48).
Artinya : karena itu janganlah sekali-kali kamu
mengira Allah akan menyalahi janjin-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya
(di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Mahas Esa lagi
Maha Perkasa.
Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud
langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain. Al-Ghazali dirasa keliru
dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof muslim pun yang
berpednapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah. Karena penciptaan
dari tiada menurut filosof muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin
terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi
asal alam ini mesti qadim.[15]
2. Tuhan tidak mengetahui perincian
Golongan filosof berpendapat bahwa Tuhan
tidak mengetahui hal-hal (peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum.
Menurut al-Ghazali setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan
setiap yang terjadi di alamnya ini atas kehendak-Nya. Tentunya seluruhnya itu
diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang
dikehendaki. Jadi Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Mengenai penjelasan diatas, Ibnu Rusyd
menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil, tidaklah seperti yang
ditudingkan. Menurut Ibnu Rusyd, al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab
para filosof tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu.[16]
Tuhan mengetahui sesuatu dengan zat-Nya,
pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’I maupun bersifat kully, sebagaimana
manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena
pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia
adalah akibat.[17]
Jadi pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof terjadi dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
3. Pendapat filosof tentang kebangkitan jasmani
Para filosof menolak konsep kebangkitan
jasmani, karena mereka menggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur
jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Maka diakhirat nanti manusia akan
dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar
pendapat ini, mereka dan para penganut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena
dalam al-Qur’an menyatakan bahwa manusia akan mengalam berbagai kenikmatan
jasmani di surga.
Menjawab gugatan al-Ghazali, Ibnu Rusyd
mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika
manusia tidur, jiwa tetap hidup. Begitu pula ketika manusia mati, maka badan
akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan.
Perbandingan antara kematian dan tidur
dalam masalah ini adalah bukti yang jelas bahwa jiwa itu terus hidup karena
aktivitas dari jiwa berhenti bekerja saat tidur dengan cara membuat tidak
bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah
terhenti. Maka sudah semestinya keadaan pada kematian akan sama dengan tidur.
Bukti ini bisa dipahami oleh banyak orang termasuk juga orang awam.
Tentang masalah
kebangkitan jasmani, Ibnu Rusyd juga menjelaskan bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut
hal itu. semua agama menurut Ibnu Rusyd mengakui adanya hidup kedua diakhirat
meskipun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Namun perlu disadari maksud
pokok dari syari’at adalah menghimbau manusia untuk melakukan perbuatan terpuji
dan meninggalkan perbuatan jahat sehingga ajaran yang dibawa oleh agama harus
sesuai dengan tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di
akhirat harus disampaikan dalam wujud jasmani.
Kemudian Ibnu
Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, karena dalam beberapa tulisannya terjadi
kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut Falasifah bertentangan dengan
apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. dalam buku Tahafut
Falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada orang Islam yang berpendapat
adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku tentang tasawuf ia
menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan
rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak dapat dikafirkan. Apalagi al-Ghazali
mendasarkan pengkafirannya pada ijma’ ulama.[18]
|
Filsafat
|
Agama
|
Epistemologi
|
Akal
|
Wahyu
|
Ontologi
|
Nisbi
|
Mutlak
|
Aksiologi
|
Hidup Bermartabat ( السلوك الكامل )
|
|
Metode
|
Dialektis/ Rasionalis
|
Retoris
|
C. Refleksi
Dalam uraian diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan
antara Ibnu Rusyd (kaum filosof) dan al-Ghazali (kaum teolog) berada di sekitar
interpretasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau
tolaknya ajaran-ajaran itu sendiri. Baik Ibnu Rusyd maupun al-Ghazali tetap
mengakui Tuhan sebagai pencipta alam. Hanya yang menjadi permasalahan apakah
sejak zaman azal Tuhan menciptakan sehinga alam dengan demikian menjadi qadim,
ataukah Tuhan mencipyakan tidak semenjak azal, sehingga alam bersifat baru.
Kaum filosof (Ibnu Rusyd) berpendapat Tuhan menciptakan semenjak azal,
sedangkan al-Ghazali (kaum teolog) Tuhan menciptakan tidak semenjak azal.
Kemudian antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali sama-sama mengakui adanya hari
perhitungan. Yang menjadi permasalahan apakah yang menghadapi perhitungan itu
roh atau tubuh. Keduanya juga sama-sama mengakui bahwa Tuhan mengetahui
perincian (juziyyat) dan yang dipersoalkan kamu filosof adalah cara Tuhan yang
mengetahui juziyyat itu. Disini Cuma terjadi perbedaan ijtihad, dan perbedaan
ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran.
D. Kesimpulan
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama
dengan filsafat. Sebagaimana yang kita tahu bahwa agama adalah sebagai wahyu
Tuhan sedangkan filsafat adalah sebagai hasil ciptaan dan pemikiran manusia.
Permasalahan akan muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan
kebenaran pemikiran dan logika manusia.
Ibnu Rusyd, sebagai seorang filosof muslim berupaya untuk mempertemukan
dan memadukan antara filsafat dan agama. Terdapat beberapa motif sinkretisme
Ibnu Rusyd terhadap agama dan filsafat salah satunya adalah kekagumannya
terhadap Aristoteles dan pemikirannya tidak membuat Ibnu Rusyd keluar dari
agama. Untuk memadukan antara filsafat dan agama, ada beberapa prinsip yang
dikemukakan oleh Ibnu Rusyd. Pertama, keharusan berfilsafat menurut syara’.
Kedua, keharusan ta’wil serta memahami makna lahir dan makna batin. Ketiga,
kedudukan wahyu dan hubungannya dengan akal.
Kemudian dalam membela para filosof yang mendapat kritik pedas dari
al-Ghazali, bahkan sampai pengkafiran, Ibnu Rusyd menanggapi kritik tersebut
dalam kitab Tahafut at Tahafut. Ada 20 masalah yang diperdebatkan antara
kaum filosof dan kaum teolog, namun yang paling dinaggap mengganggu kestabilan
umat Islam adalah masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan tentang yang
terperinci dan kebangkitan jasmani.
E. Daftar Pustaka
Al-Ahnawi, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1997.
Al-‘Iraqi,
Muhammad ‘Athif. al Naz’ah al ‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd. Kairo : Dar
al-Ma’arif. 1979.
Leaman,
Oliver. Pengangtar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah. Jakarta : Rajawali.
1989.
Maqsud, Abdul
Maqsud Abdul Ghani Abdul. Al Taufiq bayn al Din wa al Falsafah ‘inda Falasifah
Islam fi Andalus ( Agama dan Filsafat) terj. Saifullah dan Ahmad Faruq. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. 2000.
Musa,
Muhammmad Yusuf. Bayn al Din wa al Falsafah : fi Ro’yi Ibnu Ruysd wa
falasifah al ‘ahsr al wasith. Kairo : Dar al Ma’arif. 1968.
Nasution,
Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1985.
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002.
Rusyd, Ibnu.
Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa
asy syari’ati min al ittishal. Kairo : Dar al-Ma’arif. 1972.
Rusyd, Ibnu.
Tahafut at Tahafut. Kairo : Dar al-Ma’arif. 1964.
Solikhin,
Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam : Sebuah Penjelajahan, Pengalaman
mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta : Narasi.
2008.
Syarif,
M.M.. The Philosophers, dalam History of
Moslem Philoshopy, Terj. Ilyas Hasan. Bandung : Mizan. 1998.
[1] Muhammmad Yusuf Musa, Bayn al Din wa al Falsafah : fi Ro’yi Ibnu
Ruysd wa falasifah al ‘ahsr al wasith, (Kairo : Dar al Ma’arif, 1968), hlm.
45-46.
[2] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Al Taufiq bayn al Din wa al
Falsafah ‘inda Falasifah Islam fi Andalus ( Agama dan Filsafat) terj.
Saifullah dan Ahmad Faruq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 5
[5] Ibnu Rusyd, Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 54
[6] Muhammad
‘Athif al-‘Iraqi, al Naz’ah al ‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo :
Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 270
[8] M.M. Syarif, The Philosophers, dalam History of Moslem Philoshopy, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 203
[15] Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam : Sebuah
Penjelajahan, Pengalaman mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula
Gusti, (Yogyakarta : Narasi, 2008), hlm. 157
[17] Oliver Leaman, Pengangtar Filsafat Islam, terj. M. Amin
Abdullah, (Jakarta : Rajawali, 1989), hlm. 161
0 komentar:
Posting Komentar