Minggu, 06 Oktober 2019

Al-Ghazali vs Ibnu Rusyd



INTEGRASI AGAMA DAN FILSAFAT

Very Aulia Rahman

Abstrak
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan adalah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Kemudian penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis dan berkembang pada masa Khalifal Al- Ma’mun (813 – 833 M). Tahap selanjutnya adalah munculnya filosof-filosof muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Masing-masing tokoh tersebut memiliki pemikiran dan teori yang berbeda-beda dan terdapat sebuah pertentangan argument satu dengan lainnya. Dalam pembahasan ini, akan diuraikan secara sederhana mengenai salah satu tokoh filsafat yaitu Ibnu Rusyd beserta pemikirannya. Sebagai seorang filosof, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Dalam filsafatnya, Ibnu Rusyd sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan banyak ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles. Disini akan diuraikan secara ringkas mengenai pemikiran Ibnu Rusyd tentang integrasi agama dan filsafat yang secara lengkapnya sudah dijelaskan di dalam kitabnya “Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal” (persesuaian antara filsafat dan syari’ah), serta tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritik al-Ghazali yang ditujukan kepada filosof-filosof Barat.

Kata Kunci : Agama dan Filsafat, Ibnu Rusyd, Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal.

A.  Pendahuluan
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana cara mempertemukan agama dengan filsafat? Sebagaimana yang kita tahu bahwa agama adalah sebagai wahyu Tuhan sedangkan filsafat adalah sebagai hasil ciptaan dan pemikiran manusia. Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan kebenara pemikiran dan logika manusia.
Dari pertanyaan diatas, terdapat tiga alternatif jawaban sebagai berikut : Pertama, berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat. Kedua, berpegang teguh kepada filsafat dan menolak agama. Ini adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah agama. Ketiga, mengupayakan pemaduan ataupun penyelarasan antara agama dan filsafat. Ini merupakan usaha yang dilakukan oleh para filosof muslim termasuk juga di dalamnya adah Ibnu Rusyd.[1]
Wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu objek yang kajian yang menjadi tuntutan lingkungan Islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan. Mereka juga menghormati nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran yang tidak diragukan lagi.[2] Oleh alasan itu, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan juga tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Upaya memadukan keduanya antara agama dan filsafat adalah kemungkinan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan, serta berusaha menyingkirkan hal-hal yang nampak bertentangan diantara keduanya.

B.  Pembahasan
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof muslim yang banyak memberikan komentar terhadap pemikiran Aristoteles. Beliau menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, serta ingin mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk Aslinya. Jadi tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Explainer atau juru tafsir Aristoteles, sehingga posisi beliau bisa disejajarkan dengan para filosof Barat lainnya yang menafsirkan filsafat Aristoteles.[3]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat beliau tidak bisa lepas dari pemikiran kedua tokoh tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, pemikiran Aristoteles telah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, atas saran gurunya yaitu Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd diminta untuk menerjemahkan pikiran-pikiran Aristoteles sehingga ia dianggap memiliki jasa yang besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles.[4]
Namun demikian, meskipun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam bersilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan sendiri terhadap tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof besar dan terkenal dari masa klasik hingga masa sekarang.
1.    Motif sinkretisme agama dan filsafat Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa mendamaikan dan mengaharmonisasikan antara agama dan filsafat adalah mungkin, jika bisa dibuktikan kemustahilan adanya pertentangan orisinil dan fundamental antara filsafat dan agama. Begitu juga syari’at yang apabila dita’wilkan secara benar akan sesuai dengan filsafat yang dipahami secara benar juga, karena tujuan utama syari’at agama adalah mengajarkan ilmu dan amal yang benar. Ini adalah pemikiran Ibnu Rusyd pada sebuah logika.[5]
Ibnu Rusyd terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dan filsafat, bahkan melebihi para filosof sebelumnya. Dalam kitabnya Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal, ia mampu menjelaskan secara panjang dan mendalam tentang pemaduan antara agama dan filsafat.[6] Terlebih dengan adanya komentar tajam al-Ghazali, Ibnu Rusyd merasa harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dengan menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusannya.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keingin Ibnu Rusyd dalam memadukan agama dan filsafat :
a.       Ada beberapa ulama yang membeberkan hikmah seluruhnya kepada masayarakat sekaligus pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut pemahamannya sendiri, sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman mengenai syari’at dengan hikmah.
b.      Latar belakang kondisi sosiokultural masyarakat Islam terutama di wilayah Andalusia, yang mana pengikut madzhab Maliki yang mendominasi disana tidak begitu peduli terhadap filsafat bahkan cenderung memusuhi.
c.       Konflik dan sengketa yang berkepanjangan antara sekte-sekte Islam yang ada, yang masing-masing mengaku masih berpegang teguh pada keaslian syari’at.
d.      Ekstrimitas Ibnu Rusyd dalam mengagumi Aristoteles. Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa kekagumannya pada Aristoteles dan penyanjungannya pada pemikiran dan filsafat Aristoteles tidaklah mengeluarkannya dari Agama.[7]
2.    Keharusan berfilsafat menurut syara’
Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antara agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.[8]
Dalam kitabnya Fash al Maqal, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud / ciptaan Tuhan, maka semakin sempurna ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan, bahwa Allah mendorong manusia untuk menggunakan nalarnya dalam merenungi ciptaan-Nya.
Apabila seseorang dalam pemikirannya semakin jauh dengan dalil-dalil syara’, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, ia tidak memiliki kemampuan/ kapasitas yang memadai dalam dunia filsafat. Kedua, ketidakmampuan dirinya untuk mengendalikan diri agar tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama. Ketiga, karena ketiadaan pendamping / guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar suatu objek pemikiran tertentu. Masalah tersebut muncul dikarenakan manusia memiliki tingkat intelektualitas/ pemahaman yang berbeda-beda. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengelompokkan manusia berdasarkan metode kemampuan menerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan menjadi 3 macam :
a.       Metode al Khatabiyyah (Retorika)
Metode ini digunakan orang yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berpikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia.
b.      Metode al Jadaliyyah (Dialektika)
Metode ini digunakan oleh orang yang termasuk ahli dalam melakukan takwil dialektika. Mereka secara alamiah atau tradisi mapu berpikir secara dialektik.
c.       Metode al Burhaniyyah (Demonstratif)
Metode ini digunakan oleh orang yang termasuk dalam ahli takwil yaqini. Mereka secara alamiah mampu karena latihan, yaitu latihan filsafat sehingga dapat berpikir demonstratif.[9]
3.    Keharusan Ta’wil
Para filosof bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dan Hadist terdapat nash yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, nash-nash tersebut dapat dita’wilkan selama memenuhi aturan-aturan ta’wil.
Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang dari syara’ diartikan menurut lahirnya, tetapi juga harus melihat makna batinnya.[10] Dengan demikian, ada makna lahir dan makna batin. Bila arti lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari pena’wilannya. Jadi arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu kata dari arti sebenarnya kepada arti yang majazi.
Dalam melakukan ta’wil, ada beberapa aturan sebagai berikut :
a.       Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip syara’ dan mengikutinya.
b.      Yang berhak mengadakan ta’wil adalah dari pihak tertentu saja yang meiliki kemampuan mendalam di bidangnya, untuk menghindari perpecahan dan golongan-golongan baru dalam Islam.
c.       Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan para filosof, bukan kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui makna lahirnya nash.
d.      Kaum muslim bersepakat bahwa dalam syara’ ada tiga bagian yaitu : bagian yang harus diartikan menurut lahirnya, bagian yang harus dita’wilkan, dan bagian yang masih diperselisihkan.[11]
4.    Kedudukan wahyu dan hubungannya dengan akal
Meskipun Ibnu Rusyd sangat memuja kekuatan akal dan mempercayai kesanggupannya untuk mengetahui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahui. Karena itu, dalam hal ini harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk menyempurnakan akal.
Dalam bukunya, Tahafut at Tahafut ia menyatakan, “segala sesuatu yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan akan memberikannya kepada manusia melalui wahyu”. Seperti contohnya dalam permasalahan bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, serta mengetahui jalan menuju kebahagiaan dan menjauhkan dari kesengsaraan.
Persoalan-persoalan tersebut, sebagian tidak akan bisa dijelaskan secara sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan dengan wahyu maka lebih utama. Filsafat bertujuan mengamalkan tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari mereka, yaitu yang mempunyai kesanggupan mempelajarinya. Sedangkan syara’ memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak secara umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang. Jadi menurut Ibnu Rusyd, wahyu dianggap suatu keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada dibawah kekuatan wahyu. Inilah yang terungkap dari dalam kedua bukunya yaitu Manahij al Adilah dan Tahafut at Tahafut.[12]
5.    Tanggapan terhadap al-Ghazali
Ibnu Rusyd dikenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini terlihat dalam bukunya Tahafut at Tahafut yang merupakan reaksi buku al-Ghazali yang berjudul Tahafut Falasifah. Dalam bukunya Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah dikritik tajam oleh al-Ghazali. Perdebatan panjang antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali kiranya tidak akan pernah selesai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat dari kedua pemikir Islam tesebut.
Salah satu faktor terjadinya perdebatan mungkin dikarenakan al-Ghazali adaalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Timur, sedangkan Ibnu Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di daerah Barat. Dengan melihat karya kedua pemikir tersebut, tentu bisa kita temukan bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.
Melalui buku Tahafut Falasifah (kekacauan pemikiran para filosof), al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filosof dalam 20 masalah. Dalam rangka pembelaan itulah kemudian Ibnu Rusyd menulis buku Tahafut at Tahafut (kekacauan dalam kekacauan). Berikut adalah hal-hal yang menjadi perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd :[13]
1.         Alam qadim
2.         Keabadian alam, masa, dan gerak
3.         Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; ungkapan ini bersifat metaforis
4.         Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam
5.         Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud
6.         Penolakan akan sifat-sifat Tuhan
7.         Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan
8.         Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9.         Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10.     Argument rasional tentang sebab dan penciptaan alam (hukum alam tidak dapat berubah)
11.     Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui spesies dan secara universal
12.     Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri
13.     Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum
14.     Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya
15.     Tuhan yang menggerakkan
16.     Jiwa-jiwa langit mengetahui particular-partikular yang bermula
17.     Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
18.     Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh dan bukan tubuh
19.     Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuat mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20.     Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.
Menurut al-Ghazali, dari 20 persoalan diatas, ada 3 hal dari masalah tersebut yang yang dapat menyebabkan kekafiran. Hal ini dianggap paling membahayakan kestabilan umat.
1.      Pendapat filosof tentang qadimnya alam
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima di kalangan teologi Islam. Karena menurut konsep teolgi Islam, Tuhan adalah pencipta. Pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada. Kalau alam dikatakan tidak bermula, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat inilah yang memunculkan bentuk kekafiran.[14]
Ibnu Rusyd, begitu juga filosof lainnya berpendapat bahwa dari yang tidak ada atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang mungkin terjadi yaitu dari “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Pendapat ini didukung penjelasan ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini mereka merujuk pada Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 47-48 :
فلا تحسبن الله مخلف وعده رسله إنالله عزيز ذو انتقام * يوم تبدل الأرض غىر الأرض والسماوات وبرزوا لله الواحد القهار * (ابراهيم : 47-48).
          Artinya : karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janjin-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Mahas Esa lagi Maha Perkasa.
Menurut Ibnu Rusyd, ayat ini mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain. Al-Ghazali dirasa keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof muslim pun yang berpednapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah. Karena penciptaan dari tiada menurut filosof muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.[15]
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian
Golongan filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa) kecil, kecuali dengan cara yang umum. Menurut al-Ghazali setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan setiap yang terjadi di alamnya ini atas kehendak-Nya. Tentunya seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendaki. Jadi Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Mengenai penjelasan diatas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Menurut Ibnu Rusyd, al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.[16]
Tuhan mengetahui sesuatu dengan zat-Nya, pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’I maupun bersifat kully, sebagaimana manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat.[17] Jadi pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof terjadi dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
3.      Pendapat filosof tentang kebangkitan jasmani
Para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam.  Maka diakhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar pendapat ini, mereka dan para penganut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Qur’an menyatakan bahwa manusia akan mengalam berbagai kenikmatan jasmani di surga.
Menjawab gugatan al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup. Begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan.
Perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang jelas bahwa jiwa itu terus hidup karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaan pada kematian akan sama dengan tidur. Bukti ini bisa dipahami oleh banyak orang termasuk juga orang awam.
Tentang masalah kebangkitan jasmani, Ibnu Rusyd juga menjelaskan bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. semua agama menurut Ibnu Rusyd mengakui adanya hidup kedua diakhirat meskipun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Namun perlu disadari maksud pokok dari syari’at adalah menghimbau manusia untuk melakukan perbuatan terpuji dan meninggalkan perbuatan jahat sehingga ajaran yang dibawa oleh agama harus sesuai dengan tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di akhirat harus disampaikan dalam wujud jasmani.
Kemudian Ibnu Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, karena dalam beberapa tulisannya terjadi kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut Falasifah bertentangan dengan apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. dalam buku Tahafut Falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada orang Islam yang berpendapat adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku tentang tasawuf ia menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak dapat dikafirkan. Apalagi al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya pada ijma’ ulama.[18]


Filsafat
Agama
Epistemologi
Akal
Wahyu
Ontologi
Nisbi
Mutlak
Aksiologi
Hidup Bermartabat ( السلوك الكامل )
Metode
Dialektis/ Rasionalis
Retoris

C.  Refleksi
Dalam uraian diatas mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibnu Rusyd (kaum filosof) dan al-Ghazali (kaum teolog) berada di sekitar interpretasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran itu sendiri. Baik Ibnu Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam. Hanya yang menjadi permasalahan apakah sejak zaman azal Tuhan menciptakan sehinga alam dengan demikian menjadi qadim, ataukah Tuhan mencipyakan tidak semenjak azal, sehingga alam bersifat baru. Kaum filosof (Ibnu Rusyd) berpendapat Tuhan menciptakan semenjak azal, sedangkan al-Ghazali (kaum teolog) Tuhan menciptakan tidak semenjak azal.
Kemudian antara Ibnu Rusyd dan al-Ghazali sama-sama mengakui adanya hari perhitungan. Yang menjadi permasalahan apakah yang menghadapi perhitungan itu roh atau tubuh. Keduanya juga sama-sama mengakui bahwa Tuhan mengetahui perincian (juziyyat) dan yang dipersoalkan kamu filosof adalah cara Tuhan yang mengetahui juziyyat itu. Disini Cuma terjadi perbedaan ijtihad, dan perbedaan ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran.

D.  Kesimpulan
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat. Sebagaimana yang kita tahu bahwa agama adalah sebagai wahyu Tuhan sedangkan filsafat adalah sebagai hasil ciptaan dan pemikiran manusia. Permasalahan akan muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan kebenaran pemikiran dan logika manusia.
Ibnu Rusyd, sebagai seorang filosof muslim berupaya untuk mempertemukan dan memadukan antara filsafat dan agama. Terdapat beberapa motif sinkretisme Ibnu Rusyd terhadap agama dan filsafat salah satunya adalah kekagumannya terhadap Aristoteles dan pemikirannya tidak membuat Ibnu Rusyd keluar dari agama. Untuk memadukan antara filsafat dan agama, ada beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd. Pertama, keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua, keharusan ta’wil serta memahami makna lahir dan makna batin. Ketiga, kedudukan wahyu dan hubungannya dengan akal.
Kemudian dalam membela para filosof yang mendapat kritik pedas dari al-Ghazali, bahkan sampai pengkafiran, Ibnu Rusyd menanggapi kritik tersebut dalam kitab Tahafut at Tahafut. Ada 20 masalah yang diperdebatkan antara kaum filosof dan kaum teolog, namun yang paling dinaggap mengganggu kestabilan umat Islam adalah masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan tentang yang terperinci dan kebangkitan jasmani.
E.   Daftar Pustaka
Al-Ahnawi, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1997. 
Al-‘Iraqi, Muhammad ‘Athif. al Naz’ah al ‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd. Kairo : Dar al-Ma’arif. 1979.
Leaman, Oliver. Pengangtar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah. Jakarta : Rajawali. 1989.
Maqsud, Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul. Al Taufiq bayn al Din wa al Falsafah ‘inda Falasifah Islam fi Andalus ( Agama dan Filsafat) terj. Saifullah dan Ahmad Faruq. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000.
Musa, Muhammmad Yusuf. Bayn al Din wa al Falsafah : fi Ro’yi Ibnu Ruysd wa falasifah al ‘ahsr al wasith. Kairo : Dar al Ma’arif. 1968.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1985.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002.
Rusyd, Ibnu.  Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal. Kairo : Dar al-Ma’arif. 1972.
Rusyd, Ibnu. Tahafut at Tahafut. Kairo : Dar al-Ma’arif. 1964.
Solikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam : Sebuah Penjelajahan, Pengalaman mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Yogyakarta : Narasi. 2008.
Syarif, M.M.. The Philosophers, dalam  History of Moslem Philoshopy, Terj. Ilyas Hasan. Bandung : Mizan. 1998.



[1] Muhammmad Yusuf Musa, Bayn al Din wa al Falsafah : fi Ro’yi Ibnu Ruysd wa falasifah al ‘ahsr al wasith, (Kairo : Dar al Ma’arif, 1968), hlm. 45-46.
[2] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Al Taufiq bayn al Din wa al Falsafah ‘inda Falasifah Islam fi Andalus ( Agama dan Filsafat) terj. Saifullah dan Ahmad Faruq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 5
[3] Ahmad Fuad al-Ahnawi, Filsafat Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 108.  
[4] Ahmad Fuad al-Ahnawi, Filsafat Islam,.. hlm. 110.
[5] Ibnu Rusyd,  Fash al Maqal fi ma baina al hikmah wa asy syari’ati min al ittishal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 54
[6] Muhammad ‘Athif al-‘Iraqi, al Naz’ah al ‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1979), hlm. 270
[7]  Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud,… 69-75
[8] M.M. Syarif, The Philosophers, dalam  History of Moslem Philoshopy, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 203
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 116
[10] Ibnu Rusyd, Fash al Maqal… hlm. 20
[11] Ibnu Rusyd, Fashl al Maqal,.. hlm. 32
[12] Muhammad ‘Athif al-‘Iraqi, al Naz’ah,…. Hlm. 289
[13]  Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,.. hlm. 83-84
[14]  Ibnu Rusyd, Tahafut at Tahafut, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1964), hlm. 56-57
[15] Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam : Sebuah Penjelajahan, Pengalaman mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, (Yogyakarta : Narasi, 2008), hlm. 157
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1985), hlm. 53
[17] Oliver Leaman, Pengangtar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, (Jakarta : Rajawali, 1989), hlm. 161
[18]  Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam,… hlm. 158
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI