Senin, 07 Oktober 2019

The Process of Comprehension




BAB I
PENDAHULUAN
The Process of Comprehension adalah sub materi dalam kajian Psycolinguistic yang membahas tentang proses-proses dan masalah-masalah yang dihadapai seseorang dalam memahami suatu ujaran. Pemahaman seseorang terhadap suatu ujaran dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu 1) Fonological Representation, yaitu kemampuan seseorang dalam menangkap suara, 2) Lexical Look Up, yaitu kemampuan seseorang dalam menemukan makna kata yang telah didengar (membuka kamus batin), dan 3) Syntactical Structure, yaitu kemampuan seseorang dalam menebak, mengolah, dan menganalisa struktur kalimat. Ketiga tahapan ini terjadi begitu cepat sehingga sangat jarang ada orang yang menyadarinya.
Fonological Representation atau penangkapan suara ujaran yang didengar merupakan syarat pertama yang harus dialami seseorang dalam memahami. Dalam hal ini pendengaran seseorang terhadap suatu sangat menentukan. Seseorang yang memiliki masalah dalam pendengaran sangat berbeda dalam memahami suatu ujaran dengan seseorang yang pendengarannya baik. Begitu pula meskipun seseorang memiliki pendengaran yang baik, apabila dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keramaian atau kebisingan-kebisingan suara yang lain juga akan mempengaruhi pemahaman seseorang, karena bisa saja seseorang salah dengar.
Lexical Look Up atau kemampuan seseorang dalam menemukan makna kata yang telah didengar adalah proses kedua setelah seseorang mampu mendengarkan suatu ujaran dengan baik. Disebut juga dengan istilah “membuka kamus batin”, karena tahap ini terjadi dalam bentuk proses yang begitu lembut di dalam otak setiap individu dalam proses memahami suatu ujaran. Lexical Look Up ini sangat dipengaruhi oleh kemus kebatinan atau referensi perbendaharaan bahasa yang dimiliki seseorang. Seorang asli kelahiran Jawa dan selama hidupnya ia tinggal di Jawa dan belum pernah bertemu orang selain orang Jawa tidak akan paham ketika ia mendengar kata-kata seperti “Anjeun” (Sunda = Anda). Hal ini dikarenakan dalam “kamus batin” – nya tidak terdapat kosa kata tersebut.
Kemudian tahapan yang terakhir adalah Syntatical Structure atau kemampuan seseorang dalam menebak, mengolah, dan menganalisa struktur kalimat. Mungkin seseorang dapat menangkap ujaran dengan baik, mengetahui arti setiap kata demi kata dalam ujaran tersebut, namun apabila ia gagal dalam menganalisa struktur kalimat dalam ujaran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ia telah gagal dalam memahami ujaran tersebut (“gagal paham”). Seperti halnya saat seseorang berkata kepadanya, “Warungnya tutup”. Kedua kosa kata tersebut mungkin sudah tidak asing lagi dalam kamus batin seseorang, namun karena ia telah gagal dalam menganalisa struktur pengucapan kalimat tersebut, bisa saja ia memehaminya hanya sebagai informasi atau kelimat berita, atau memahaminya sebagai perintah, artinya seseorang memintanya untuk menutup warung, atau memahaminya sebagai pertanyaan, apakah warungnya tutup?
Kegiatan ini merupakan kegiatan pengamatan terhadap proses pemahaman yang terjadai pada siswa-siswi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang dan pengamat sendiri saat keduanya berinteraksi. Kegiatan pengamatan ini dilakukan sebagai aplikasi terhadap teori-teori bagaimana proses seseorang dalam memahami yang telah kami pelajari di kelas. Hasil pengamatan ini kami susun dalam bentuk sebuah laporan yang berjudul “Laporan Pengamatan Proses Pemahaman pada Anak-anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang”.
A.     Nama Kegiatan
 “Pengamatan Proses Pemahaman (The Process of Comprehension) pada Anak-anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang”

B.     Anggota Kelompok
1.      Ragil Basuni                  133211019
2.      Very Aulia Rahman       133211020

C.     Waktu dan Tempat
Watu                : Kamis, 21 April 2016
Tempat : Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang

D.    Agenda
No
Waktu
Kegiatan
1
06.00
Persiapan Pemberangkatan (Kampus)
2
06.30
Perjalanan Menuju Lokasi Pengamatan
3
08.00
Sampai di Lokasi Pengamatan, Dilanjut Brifing (Pembekalan)
4
08.30
Pengamatan di Lapangan
5
10.00
Brifing, Kembali ke Kampus
BAB II
RINCIAN KEGIATAN
A.     Pra Kegiatan
Setiba di lokasi, begitu masuk komplek kampus SLBN Semarang para siswa-siswi SLB tersebut langsung berlarian menyambut kedatangan kami. Kami bersalaman dengan mereka. Beberapa di antara kami ada yang menanyakan nama-nama mereka, kemudian mereka menjawab, kemudian berlarian pergi lagi. Kemudian kami berkumpul dalam suatu ruangan aula untuk diberi pembekalan oleh dosen pengampu mata kuliah Psycoliguisti ini, Dr. H. Ahmad Ismail, M.A., M.Hum dan salah satu guru SLBN tersebut tentang bagaimana dan apa saja yang harus kami lakukan saat pengamatan dalam kelas.

B.     Proses Kegiatan Pengamatan
Kami mendapatkan lokasi pengamatan pada kelas 5 SD. Dalam kelas tersebut terdapat 5 (lima) siswa, yaitu Nisa, Danis, Hafiz, Kalila, dan Anis, dan satu “asisten” guru, yaitu Adel.
1.      Gambaran Personal
a.       Nisa
Namanya adalah Nisa. Pada awal kami memasuki kelas kami melihat Nisa sedang menundukkan kepala seperti orang sedang tidur. Kami mulai mendekatinya dan menanyakan siapa namanya. Secara perlahan kami tanyakan, “Adik..namanya siapa?” dia tidak menjawab. kami mencoba menanyakan namanya kembali dengan sangat perlahan dan jelas, kami juga mendekatkan telinga kearah sumber suara berharap terdengar sebuah jawaban. Terdengar seperti “nn..saa”. Terdengar sangat pelan dan tidak begitu jelas. Nisa tidak mengetahui huruf dan angka. Ketika kami bermain mewarnai gambar, kami meminta nisa untuk mengambil pensil warna hijau, ia kemudian melihat dalam kotak yang berisi penuh dengan pensil warna, ia mencari-cari dan benar ia mendapatkan pensil warna hijau. Kami berpikir mungkin itu cuma kebetulan. Kembali lagi kami menyuruh Nisa mengambil pensil warna biru, ia dapat mengambilnya. Seterusnya hingga ia juga berhasil mengambil pensil warna coklat. Tetapi kemudian ia gagal saat kami menyuruh pensil warna merah. Ia ternyata tidak mengetahui warna merah, berkali kali dicoba ternyata masih salah.
Ketika kami menanyakan “Nisa bisa menulis tidak?” , ia lalu menuliskan sebuah coretan-coretan yang terlihat seperti huruf “p” dan “b”, berulang seperti itu. kami mencoba menanyakan tentang benda-benda disekelilingnya, kami mulai dari sepatu. Saat kami Tanya “Nisa, ini namnya apa?” Nisa hanya diam. Kami ulangi lebih perlahan, ia juga hanya diam. Ketika kami mulai mencontohkan mengucapkan kata se-pa-tu, ia hanya mampu mengucap sampai ejaan “se”. Nisa juga tidak mengetahui meja, lampu, tas, baju, saat kami menanyakannya. Tetapi nisa tahu penghapus, hal ini terbukti ketika kami meletakkan pensil dan pengahapus berjajar, dan meminta nisa untuk mengambilkan penghapus, ia bisa mengatasinya. Ia juga tahu fungsi penghapus, terbukti ketika ia sedang menulis kemudian terjadi coretan panjang, ia langsung menghapusnya.

b.      Danis
Namanya adalah Danis. Ketika kami menanyakan namanya, ia hanya menjawab “yayaya” “yayaya” begitu seterusnya. Setiap kami menanyakan sesuatu ia hanya menjawab “yayaya” “yayaya”. Sama halnya dengan nisa, kami juga bermain mewarnai gambar dengan danis. Danis bisa membedakan warna, ketika kami menyuruh mengambil pensil warna yang kami katakan. Seakan ingin mengatakan sesuatu, setiap kali ia berhasil mengambil pensil warna yang kami tentukan, ia kemudian menunjukkan kepada kami seolah meminta penilaian dengan ujaran “yayaya” “yayaya”, meskipun ia hanya berkata “yayaya” kami mengerti bahwa ia ingin meminta penilaian. Hal ini terbukti ketika ia salah mengambil pensil warna dan menunjukkan kepada kami, dan kami berkata “oh..bukan itu”, ia langsung menggantinya dengan pensil warna yang lain begitu seterusnya.
Danis tahu pensil warna yang lancip dan yang patah. Ia juga tahu bagaimana cara meraut pensil. Bahkan ketika kami pura-pura minta tolong diajarkan bagaimana meraut pensil, danis mengajarkannya. Tiba-tiba danis beridiri sambil berkata “yayaya” “yayaya”, ia menunjukkan rautan pensilnya yang sudah penuh. Kami memahami itu bahwa ia ingin membuang bekas rautan pensil. Ternyata benar ia melakukannya dan ia megatakannya pada kami tiga kali seperti itu.

c.       Hafiz
Tidak banyak yang bisa kami pahami tentang Hafiz. Saat berinteraksi dengan anak-anak dalam kelas tersebut, kami sempat memberikan beberapa pertanyaan kepada Hafiz, “Namanya siapa dek?”, ia menjawab “Ha-iz”. Kami sempat bingung, berusaha memprediksikan apa yang sebenarnya ia maksud. Kami baru menyadarinya bahwa namanya adalah Hafiz setelah kami melihat lambaran tugas yang diberikan oleh guru, di sana tertulis “Hafiz” dalam bentuk huruf putus-putus. Kamudian kami memberikan beberapa pertanyaan lagi, namun kami gagal memahami jawaban-jawaban yang ia berikan.

d.      Kalila
Namanya adalah Kalila. Ketika kami tanya namanya, ia seketika bisa menjawab “Kalila” dengan ujaran yang cukup jelas untuk kami pahami. Kalila bisa berhitung dari satu sampai sepuluh, akan tetapi tidak bisa menuliskannya. Ia juga tidak mengetahui huruf. Ketika kami memulai obrolan dengan Kalila, selalu ada timbal balik darinya seperti ketika ditanya “Kalila kelas berapa?” ia menjawab “kelas 5” dan bergantian tanya balik kepada kami; “Mas kelas berapa?” kami mendengar kata yang terucap darinya. Mungkin itu karena ada faktor pertanyaan yang kami utarakan terlebih dahulu sehingga ia bisa menanyakan balik, pikir kami. Akan tetapi, ketika kami memperlihatkan gambar ikan, tiba-tiba kalila bertanya “Mas, punya ikan?” , kami secara langsung memahaminya. Kemudian diantara kami dan Kalila terjadi suatu obrolan yang cukup lama, tanya menanya tentang kebiasaan dirumah, tentang punya sepeda warna putih, dan suka nonton upin ipin. Dari beberapa ucapannya, ada beberapa kata yang sukar ia ucapkan yaitu kata “hiu” yang ia baca “yu”, kemudian huruf “s” seperti terbaca huruf “c”. Kalila juga bisa menolak perintah, ketika kami memintanya untuk menggambar matahari, dia berkata “emoh” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata dia ingin menggambar bunga melati, katanya.

e.       Anis
Namanya adalah Anis. Ketika ditanya ataupun diajak ngobrol dia tidak menjawab apa-apa. Dia hanya senyum-senyum dan tertawa. Ketika waktu jam istirahat, kami menanyakan bekal apa yang dibawa, anis langsung mengeluarkan isi tasnya dengan bekal roti dari rumah, tetapi denan sikap yang sama tanpa ada kata yang terucap.
f.        Adel
Adel adalah salah satu lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang. Usianya sudah menginjak usia orang dewasa pada umumnya. Berdasarkan wawancara dengan guru, sebenarnya Adel dititipkan kembali oleh keluarganya di sekolah ini karena khawatir apabila terjadi hal-hal yang mengjhawatirkan di lingkungan rumah. Pada awal dititipkannya Adel kembali ke sekolah ini, ia sempat menolak. Karena sebenarnya dia tahu bahwa “Saya kan sudah lulus, ngapain saya kembali ke sekolah?”. Kemudian orang tua Adel bersepakat dengan pihak sekolah untuk memberikan status “asisten” guru untuk mensiasati masalah ini.
Sebagai seorang yang “Luar Biasa”, Adel cukup berbakat untuk menjadi seorang “asisten” guru. Sejak pertama kali kami memasuki kelas, kami kurang begitu menyadari bahwa dia adalah salah satu pasien di sekolah tersebut. Penampilannya sangat meyakinkan ia seorang guru pada umumnya. Seragam legkap, dengan pinset nama di dada kiri, dan sebuah cincin akik besar di jari tangan kanannya. Para guru dan anak-anak lainnya memanggilnya “Pak Adel”. Namun akhirnya kami mengetahuinya setelah kami perhatikan penampilannya secara fisik dan dikuatkan oleh penjelasan dari guru.
Adel tidak banyak bicara, hanya diam, senyum, dan terlihat sedang sibuk dengan sebuah buku dan sebuah bolpoin. Hal yang menarik dari Adel adalah sifat kecemburuannya yang sangat tinggi. Terbukti saat salah satu pengamat sedang berinteraksi dengan salah satu guru di kelas tersebut, ia terlihat begitu murung dan cemberut. Menurut keterangan dari guru, orang-orang luar biasa seperti ini memiliki perkembangan seksualitas yang lebih cepat dan rasa kecemburuan yang begitu tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang biasa pada umumnya. Setelah kami tahu bahwa ia sedang “cemburu”, kami mendekatinya dan menanyainya, “Pak Adel, gimana tugasnya, kayaknya kok sibuk sekali?”. Adel hanya memalingkan muka dan keluar meninggalkan kelas tanpa sepatah kata pun. Menurut keterangan dari guru, “Tidak apa-apa mas, memang sudah biasa seperti itu.”

2.      Susunan Kelas
Ketika kami memasuki kelas, hanya ada 3 siswa yaitu Nisa, Danis dan Kalila. Kalila dan Danis menyambut kami dengan senyuman dan tawa, sementara Nisa seperti tertidur diatas meja. Kemudian datang salah satu teman mereka bernama Hafiz, kami memperhatikan bagaimana mereka menyambut teman mereka yang terlambat dengan berpelukan satu sama lain, dengan penuh keceriaan dan ikut membantu menata tempat duduknya. Perlakuan tersebut pun kembali terulang ketika Anis memasuki kelas. Seperti terjadi komunikasi diantara mereka yang kami sendiri tidak paham akan artinya. Kami mencoba mendengarkan dan melihat apa yang mereka lakukan, tetapi kami juga belum dapat memahaminya. Mereka terlihat seperti tertawa satu sama lain, akan tetapi mungkin ada pesan yang disampaikan yang kami sendiri tidak dapat memahaminya.
Suasana kelas cukup terkendali, hanya saja sesekali ada teman yang jail seperti Hafiz yang mencoba memukul Kalila dengan botol minumnya. Mereka tahu ketika kami mengambil foto dan ingin melihat hasilnya setelah berfoto. Mereka bisa ditata duduk secara rapi dan bergaya sesuai kehendak mereka.

3.      Wawancara dengan Guru
Guru kelas yang mendampingi kami adalah Bu Yani. Beberapa informasi yang kami dapatkan dari bu Yani yaitu anak-anak kelas ini tidak bisa diberikan atau menerima informasi yang terlalu banyak, karena daya ingat mereka tidak seperti anak-anak pada umumnya. Ketika mereka mengenal hal baru, maka ingatan akan hal lama akan menghilang. Jadi begitu, mengapa mereka hanya mengenali benda-benda yang ada disekitar mereka yang sering mereka gunakan dan asing akan benda-benda lainnya.
Mereka memiliki sifat yang ketika sudah menyukai suatu hal, maka sampai kapanpun akan menyukainya dan sukar untuk mencegahnya. Misalnya Nisa yang pergi kemana-mana selalu membawa cepet rambut warna pink, kemudian Danis yang setiap makan bekal harus sari roti dan tidak mau digantikan dengan yang lain. Mereka suka mencari perhatian dari orang disekitar dengan aktifitas mereka, seperti Hafiz yang mencoba memukul Kalila untuk kemudian kami nasehati, Kalila yang selalu memanggil-manggil kami ketika kami memperhatikan temannya yang lain.

BAB III
ANALISIS
Berdasarkan pada pengamatan kami diatas, dapat kami hubungkan dengan tahapan-tahapan seseorang memahmi ujaran, yaitu The Problem of Comprehension yang meliputi : 1) Fonological Representation, 2) Lexical Look Up, dan 3) Syntactical Structure.
A.     Fonological Representation (menangkap suara)
Dalam tahapan ini, melihat timbal balik dari mereka, penyampaian kata dan ujaran dari kami kurang tertangkap baik oleh pendengaran mereka. Kami telah berusaha untuk berbicara pelan-pelan dan sejelas mungkin kepada mereka.
Sebagian dari mereka bisa menerimanya, dan sebagian lainnya hanya diam atau hanya tersenyum saja.
Sedangkan kami dalam menangkap suara atau ujaran mereka mengalami kesulitan, sebagian besar dari mereka mengutarakan kata yang belum bisa kami dengarkan dengan baik.
B.     Lexical Look Up (membuka kamus batin)
Dalam tahapan ini, sebagian dari mereka hanya mengetahui kata ataupun benda yang setiap harinya berhubungan dengan mereka seperti pensil, penghapus, kotak bekal makanan. Kemudian tidak ditemukannya makna meja, lampu, sepatu, mobil, pesawat, mesikpun salah satu diantara meraka ada yang sudah mengetahuinya
C.     Syntactical Structure (struktur kalimat)
Dalam tahapan ini, sebagian dari mereka sudah bisa memahami kalimat-kalimat atau perintah-perintah sederhana dari kami, dengan adanya tindakan yang mereka lakukan setelah kami berujar. Misalnya ketika Danis salah mengambil pensil warna, kemudian kami berkata “oh..bukan itu”, bukan itu adalah maksutnya bukan pensil warna itu, tetapi yang lain. Danis kemudian mengerti dan meneruskan pencariannya.
Sedangkan kami dalam tahapan ini mengalami kesulitan, karena sebagian dari mereka hanya berkata “yayaya” ataupun sambil senyum-senyum. Tapi ada satu kejadian dimana kami bisa memahami apa yang mereka maksut, yakni ketika Danis bermaksud membuang bekas rautan pensil dengan berkata “yayaya”, dengan melihat tindakannya kami sudah bisa memahami atas apa yang akan ia lakukan, dan terbukti benar.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kami simpulkan bahwa hampir seluruhnya siswa kelas 5b jenjang SD dapat memahami ujaran yang kami sampaikan, dengan catatan bahwa ujaran tersebut mencakup kosakata yang sudah biasa mereka dengar dan praktekkan. Ujaran yang mengandung kosakata asing atau jarang mereka dengar, akan berdampak pada diamnya siswa atau tidak ada tindakan yang dilakukan.
Kemudian dari segi penyampaian ujaran, hanya ada satu siswa yang dapat menyampaikan ujaran dengan cukup jelas dan memahamkan kami. Sebagaian besar dari mereka memilih tidak berbicara ataupun berkata sesuai dengan gaya mereka dan membuat kami tidak paham.



Share:

1 komentar:

  1. Thanks for share, semoga sukses selalu,.
    Kunjungi juga http://bit.ly/2mudHwo

    BalasHapus

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI