MODEL PENGEMBANGAN
KEILMUAN INTEGRATIF
DI UIN WALISONGO
SEMARANG
(INTAN BERLIAN ILMU)
Very Aulia
Rahman (18720056)
Pascasarjana
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrak
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mendiskripsikan secara sederhana
mengenai model pengembangan keilmuan integratif di UIN Walisongo Semarang
dengan mengusung model Intan Berlian Ilmu. Dalam pembahasan ini juga akan
mendiskripsikan seputar paradigma kesatuan ilmu pengetahuan ( unity of
science ) yang dikembangkan UIN Walisongo, yakni dengan menyatukan antara
semua cabang ilmu dan memberikan landasan wahyu sebagai latar atau pengikat
penyatuan. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan di
Indonesia ditransformasi dalam ranah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang
menjadi sentral perkembangan ilmu keislaman dengan harapan dapat mempercepat
cita-cita islamisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam baik Negeri maupun
Swasta, khususnya UIN Walisongo Semarang. Salah satu dari strategi pencapaian unity
of science atau dikenal dengan wahdat al-ulum adalah transformasi
dari IAIN menjadi UIN dengan Panca Kamil-nya, yaitu berbudi pekerti luhur,
berwawasan kesatuan ilmu pengetahuan, berprestasi dalam akademik, berkarir
dalam secara professional dan berkhidmah kepada masyarakat.
Kata Kunci : Unity of Science ( Wahdat
al-ulum ), Intan Berlian Ilmu, UIN Walisongo Semarang
A. Pendahuluan
Islam sudah ada sejak 14 abad yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut
Islam banyak mengalami kemajuan-kemajuan begitu juga kemuduran. Salah satu
faktor kemjuan dan kemunduran Islam tentu erat kaitannya dengan rivalitas Islam
dengan Barat yang sudah berlangsung sejak lama. Masa-masa kejayaan Islam
dibuktikan oleh takluknya dua kerajaan besar yaitu Persia dan Romawi.[1]
Kekuasaan Islam terbentang luas dari Asia bahkan juga Eropa. Barat kembali
bangkit ketika runtuhnya kerajaan Islam di Spanyol. Kurang cakapnya generasi
pemimpin kerajaan Islam pada waktu itu, membuat kerajaan Islam digulingkan oleh
Barat. Selain itu juga terjadi perselisihan saudara atau perebutan kekuasaan di
kalangan kerajaan.[2]
Bangsa Barat mulai mengambil alih dan mengatur segala sektor bidang kehidupan.
Hal inilah yang kemudian memicu munculnya imperialisme-kolonisme yang
berlangsung lama.
Menurut pandangan penulis, hegemoni Barat atas dunia Islam masih
dirasakan dampaknya hingga zaman modern seperti sekarang. Negara Islam
dijadikan objek penjajahan dan eksploitasi oleh negara pendatang seperti halnya
kasus Israel-Palestina. Agama Islam diperburuk citranya oleh media massa global
dengan memanipulasi berita ataupun sebagainya. Islam dikenal sebagai bangsa
yang tidak beradab, teroris, miskin, dan fanatik. Islam mengalami
ketertinggalan dengan Barat yang kemudian membuat Islam jauh dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam menyikapi ketertinggalan ini, umat Islam tentu sudah melakukan banyak
usaha untuk beranjak dari ketertinggalannya, akan tetapi belum berhasil. Hal
ini tentu ada faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu faktor terpenting
yang melatarbelakangi adalah bangunan dan sistem epistemologi umat Islam yang
memang tidak mendukung untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dengan
Barat. Persoalan epistemologi dianggap faktor terpenting dalam keterbelakangan
dunia Islam dikarenakan epistemologi adalah titik sentral dari setiap pandangan
dunia, sehingga jenis suatu masyarakat yang dibangun pun akan dipengaruhi oleh
sistem epistemologinya.[3]
Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Muhammad Arkoun melakukan kritik yang
tajam terhadap sistem epistrmologi Islam. Merka adalah intelektual Islam
kontemporer. Sebagian dari mereka memberikan respon epistemologi terhadap
tantangan modernitas dengan melakukan usaha humanisasi ilmu-ilmu keislaman
Sedangkan sebagian lainnya, yakni Seyyed Hossein Nasr, Mohammad Naquib
al-Attas, dan Raji al-Faruqi memberikan respon dengan melakukan sebuah gerakan
yang dikenal dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.[4]
Para intelektual kontemporer memperkenalkan perkembangan Islamisasi ilmu
menjadi yang kemudian sebuah agenda besar umat Islam. Dari sinilah muncul
ide-ide yang selanjutnya dibawa ke ranah pendidikan sebagai lembaga yang
dianggap penting ada untuk merealisasikannya. Semangat gerakan Islamisasi Ilmu
tentu masih berjalan sampai sekarang ini. Di Indonesia sendiri, upaya integrasi
ilmu menjadi hal yang semakin gencar dilakukan di ranah perguruan tinggi, salah
satunya adalah di UIN Walisongo Semarang.
Konversi IAIN menjadi UIN dilakukan sebagai salah satu percepatan
mencapai integrasi ilmu sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini UIN
Walisongo menunnggu momentum yang tepat bagi sains Islam untuk mengambil peran.
Integrasi ilmu disini harus dilandasi paradigma bahwa semua ilmu pengetahuan
itu harus mengantarkan manusia dekat dengan Tuhannya.[5]
Lantas kemudian mungkin akan timbul sebuah pertanyaan, apakah transformasi
dari IAIN ke UIN dalam rangka integrasi ilmu bisa disamakan dengan semangat
mengubah PGA menjadi MAN? Atau mungkin transformasi IAIN menjadi UIN hanya
untuk meningkatkan jumlah mahasiwanya?
Untuk itu, dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai model
pengembangan keilmuan integrative di UIN Walisongo yang mengusung simbol “Intan
Berlian”, prinsi-prinsip tentang paradigm kesatuan ilmu pengetahuan (unity
of science) dan strategi untuk mengimplementasikannya. Penulis juga akan
memberikan masukan ataupun kritik terkait dengan model pengembangan keilmuan
integrative di UIN Walisongo.
B. Pembahasan
IAIN Walisongo berubah menjadi Universitas Islam Negeri Walisongo (UIN)
Semarang secara resmi sejak 19 Desember 2014 bersamaan dengan dua UIN yang
lain, yaitu UIN Raden Patah Palembang dan UIN Sumatera Utara.[6]
Hal ini juga tercatat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13
tahun 2014 tentang perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN Walisongo yang
ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Perpres tertulis bahwa
perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN dalam rangka memeenuhi tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses integrasi ilmu agama
Islam dengan ilmu lain serta mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.[7]
UIN Walisongo termasuk Universitas Islam yang baru hadir di Indonesia
dibandingkan dengan Universitas Islam lainnya. UIN walisongo memiliki komitmen
melakukan gerakan Islamisasi ilmu sebagaimana UIN lainnya. Hal ini dapat
dilihat dari upaya UIN Walisongo membangun dan mengembangkan paradigma
keilmuannya. UIN Walisongo sebagai Universitas baru memiliki ciri dan karakter yang
berbeda dari UIN lainnya, misalnya UIN SUKA mengembangkan paradigma keilmuannya
melalui Interkoneksi Ilmu, dengan simbol jaring laba-laba Amin Abdullah, UIN
Malang dengan Pohon Ilmunya, maka UIN Walisongo memiliki bangunan paradigma
sendiri.
UIN Walisongo merancang “Kesatuan Ilmu” (Unity of Science) dengan
model “Intan Berlian Ilmu” untuk mengembangkan integrasi keilmuannya. Model
tersebut digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya M.A dan Dr. H. Muhyar Fanani.[8]
Menurut Muhyar Fanani, paradigma ini adalah bahwa semua ilmu pada dasarnya
adalah satu kesatuan yang berasal dan bermuara dari Allah melalui wahyu-Nya
baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini wahyu menjadi
sentral dan amat penting. Semua ilmu harus bisa berdialog dan bermuara pada
satu tujuan, yaitu mengantarkan para pengkajinya untuk mengenal dan semakin
dekat dengan Allah.[9]
Kesatuan ilmu yang dikembangkan UIN Walisongo adalah penyatuan antara
semua cabang ilmu dengan memberikan landasan wahyu sebagai latar atau pengikat
penyatuan. Dalam hal ini akan terlihat jelas perbedaan paradigma keilmuan Islam
dengan Barat. Sebelum berbentuk Intan Berlian, paradigma kesatuan ilmu
pengetahuan UIN Walisongo dapat digambarkan sebagai berikut :
![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
|

|
|
Gambar I
Ilustrasi Gambaran paradigma unity of science UIN Walisongo[10]
Pada gambar diatas dapat kita lihat bahwa bundaran paling tengah adalah
wahyu, sementara bundaran paling luar adalah alam. Sedangkan lima bundaran
lainnya adalah ilmu agama dan humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman,
ilmu matematika dan sains komputer, serta ilmu profesi dan terapan. Jika kita
bandingkan dengan paradigma keilmuan Barat, yakni dikenal dengan Separation
of Science tentu sangat berbeda. Paradigma Barat jika penulis gambarkan
adalah sama-sama berbentuk lingkaran, satu sebagai pusat dan dikelilingi oleh 5
lingkaran yang lain. Perbedaanya terletak oleh posisi kelima lingkaran atau
gugus ilmu yang tidak menyatu dan terletak saling berjauhan.[11]
Hal ini menunjukkan bahwa paradigma keilmuan Barat bahwa pusat ilmu yang berada
di tengah tidak mampu menyapa 5 gugus
ilmu yang lain, bertolakbelakang dengan paradigma keilmuan Islam.
Dalam mengembangkan paradigma kesatuan ilmunya (Unityof Science),
UIN Walisongo memegang prinsip-pinsip paradigma sebagai berikut :
1. Integrasi. Integrasi berarti menyatupadukan, menggabungkan,
mempersatukan dua hal atau lebih menjadi satu.[12]
Prinsip meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang
bersumber dari Allah yang diperoleh melalui para nabi, eksplorasi akal, maupun
eksplorasi alam.
2. Kolaborasi. Kolaborasi adalah melakukan kerjasama untuk mencapai suatu
tujuan.[13]
Dalam hal ini kolaborasi berarti memadukan nilai universal Islam dengan ilmu
pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia.
3. Dialektika. Prinsip ini meniscayakan dialog yang intens antara ilmu-ilmu
yang berakar pada wahyu (reavealed sciences), ilmu pengetahuan modern (modern
sciences), dan kerifan lokal (local wisdom).
4. Prospektif. Prinsip ini meyakini bahwa unity of science akan
menghasilkan ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang bermanfaat bagi
pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta kelestarian alam.
5. Pluralistik. Prinsip ini meyakini adanya pluralitas realitas dan metode
dalam semua aktivitas keilmuan.[14]
Paradigma integrasi “Kesatuan Ilmu” UIN Walisongo ini dapat digambarkan
dengan model “Intan Berlian” yang sangat indah dan bernilai tinggi, memancarkan
sinar, memiliki sumbu dan sisi yang saling berhubungan satu sama lain. Sumbu paling tengah menggambarkan Allah sebagai
sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Kemudian sisi-sisinya
menggambarkan gugus ilmu yang kesemuanya akan dikembangkan oleh UIN Walisongo.
Ada 5 gugus ilmu :
1. Ilmu agama dan Humaniora, yaitu ilmu-ilmu yang
muncul saat manusia belajar tentang agama dan diri sendiri, seperti ilmu-ilmu
keislaman seni, sejarah, bahasa, dan filsafat.
2. Ilmu-ilmu sosial, yaitu sains sosial yang muncul
saat manusia belajar interaksi antar sesamaqnya, seperti sosiologi, ekonomi,
geografi, politik, dan psikologi.
3. Ilmu-ilmu kealaman, yaitu saat manusia belajar
fenomena alam, seperti kimia,fisika, antariksa, dan geologi.
4. Ilmu matematika dan sains komputer, yaitu ilmu
yang muncul saat manusia mengkuantisasi gejala sosial dan alam, seperti
komputer, logika, matematika, dan statistik.
5. Ilmu-ilmu profesi dan terapan, yaitu ilmu-ilmu
yang muncul saat manusia menggunakan kombinasi dua atau lebih keilmuan diatas untuk
memecakan problem yang dihadapinya, seperti pertanian, manajemen, arsitektur,
bisnis, hukum, dan pendidikan.
Setelah tadi dijelaskan bahwa awal ilustrasi
model kesatuan integrasi ilmu UIN Walisongo hanya berbentuk lingkaran-lingkaran
yang saling berkaitan, kemudian sekarang muncul gagasan bertransformasi bentuk
menjadi sebuah intan berlian. Gambar intan berlian di bawah ini mengilustrasikan
paradigma unity of science UIN Walisongo Semarang :

Gambar II.
Diamond paradigma unity of
science UIN Walisongo[15]
Ilustrasi gambar diatas menyatakan bahwa alumni UIN Walisongo dibekali
ilmu-ilmu yang menjadi fokus kajian mahasiswa yang kesemuanya disinari dan
dibimbing oleh wahyu Allah. Ilmu-ilmu yang dipelajari harus memenuhi tiga
syarat : (1). Ilmu itu mengantarkan pengkajinya semakin mengenal Tuhannya. (2).
Ilmu itu bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam. (3). Ilmu itu
mampu mendorong berkembangnya ilmu-ilmu baru yang berbasis pada kearifan lokal
(local wisdom).[16]
Paradigma unity of science ini mengandung gagasan untuk
mendialogkan antara ilmu-ilmu rasional dan religious science dalam
sebuah sistem yang padu dan harmonis. Agama dan Ilmu memiliki keterkaitan satu
sama lain. Hubungan tersebut adalah konflik (bertentangan), independensi (masing-masing
berdiri sendiri), dialog (berkomunikasi) dan integrasi (menyatu dan besinergi).
Dalam konteks ini, dialog-integratif ini sesungguhnya yang ingin dikedepankan
oleh unity of science.[17]
Upaya mengimplementasikan unity of science, UIN Walisongo
menerapkan tiga model strategi : Humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi
ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi local wisdom.
1. Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman
Humanisasi
artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan,
kebencian dari manusia.[18]
Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman mencakup segala upaya untuk memadukan
nilai universal Islam dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas
hidup dan peradaban manusia. Humanisasi tidak lain membuat ilmu-ilmu agama itu
menjadi relevan dengan tantangan zaman pada sekarang.[19]
Hal yang dimaksudkan disini adalah bahwa ilmu keislaman itu harus hadir untuk
memberikan solusi terhadap segala persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Menganalisa
penjelasan diatas, bahwa Islam akan mewarnai perilaku manusia. Namun
kenyataannya terutama di negara kita, pemahaman atas Islam sekarang ini masih
kurang sehingga Islam belum bisa mewarnai perilakunya. Jika demikian lantas
apakah seseorang dianggap muslim hanya bila ia ke masjid, atau ketika berumroh
maupun berhaji. Padahal bukan seperti itu. kita juga harus melihat sisi
lainnya, seperti bagaimana cara mencari
uangnya? Bagaimana seorang muslim harus bekerja? Bagaimana melakukan segala
kegiatannya? Ini kiranya juga menjadi perhatian Islam. Disini peran ilmu agama
sangat penting guna menjadikan manusia menjadi lebih baik.
Dalam
merealisasikan humanisasi ilmu-ilmu keislaman, UIN Walisongo tentu memiliki
langkah-langkah, salah satunya yang mungkin bisa penulis paparkan adalah dengan
menghumanisasikan nama-nama fakultas. Seperti halnya di UIN Walisongo ada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tarbiyah ibarat ilmu langit, kemudian
keguruan adalah ilmu bumi. Maka keduanya digabung. Selain itu juga ada Fakultas
Dakwah dan Komunikasi dan fakultas-fakultas lainnya. Humanisasi juga dirasa
akan selalu menguatkan Iman, Islam dan Ihsan. Apabila muncul sebuah pemikiran
baru, maka perlu dilihat dulu apakah menguatkan atau mendangkalkan Iman, Islam
dan Ihsan. Kalau ternyata mendangkalkan ketiganya harus ditolak. Sebaliknya
apabila menguatkan ketiganya maka bisa kita gunakan.
Dengan
strategi pengembangan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan melalui humanisasi
ilmu-ilmu keislaman ini diharapkan ilmu-ilmu tersebut dapat membumi dan dekat dengan
permasalahan yang sedang dialami manusia.[20]
Dengan demikian berarti humanisasi berarti relevansi dari ilmu-ilmu Islam untuk
menangani masalah sekarang ini. Dengan ungkapan lain, humanisasi berarti
revitalisasi ilmu-ilmu Islam dalam memberikan solusi untuk masalah hidup
modern.
2. Spiritualisasi ilmu-ilmu modern
Berasal
dari spiritualitas, yang berarti hidup yang didasarkan pada pengaruh dan
bimbingan Allah.[21]
Disini strategi spiritualisasi bermaksud memberikan pijakan nilai-nilai
ketuhanan (ilahiyah) dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk
memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan
kualitas/keberlangsungan hidup manusia dan alam serta bukan penistaan atau
perusakan keduanya. Kegagalan paradigma sains Barat, menurut Kuntowijoyo,
adalah sifatnya yang sekuler. Paradigma sekuler perlu disuntik dengan etika humanisme.
Semangat ilmu yang dikembangkan Barat adalah menghilangkan pesan-pesan
spiritual. Hal ini menjadi akar masalah tumpulnya sains modern dalam
penyelesaian masalah kemanusiaan dan peradaban.[22]
Cara
berpikir Barat yang sangat mementingkan skeptisisme, yaitu cara berpikir yang
menekankan pentingnya keraguan akan segala segala sesuatu. Keraguan adalah
pergerakan antara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan pada
salah satunya.[23]
Cara berpikir ini menempatkan segala objek sebagai sesuatu yang layak diragukan
kebenarannya. Dalam keadaan demikian, objek dibiarkan bergerak tanpa kepastian.
Kepastian yang bersifat sementara dapat dicapai setelah diuji secara rasional
dan empiris. Selanjutnya, kepastian sementara itu diragukan lagi.
Maka dengan
melihat pernyataan diatas, bahwa ilmu-ilmu modern, khususnya ilmu-ilmu kealaman
itu diajari untuk menjadi tidak bertuhan. Semua yang terjadi tidak perlu tangan
Tuhan. Hukum-hukum alam bagi mereka mungkin sudah bisa menjelaskan bagaimana
alam itu dilahirkan. Tentu pemahaman yang demikian sangat berbeda dengan
pemahaman penciptaan yang ada di Ilmuan muslim. Ilmu-ilmu modern harus lebih
dipahami lebih mendasar dan kembali pada hikmah suatu ilmu pengetahuan. Wahyu
mengajarkan bahwa alam semesta yang seimbang ini adalah hasil ciptaan Yang Maha
Pencipta. Wahyu semestinya menjadi sumber utama pengembangan ilmu-ilmu sains
modern. Sumber wahyu itu kemudian didialogkan dengan realitas objektif.
3. Revitalisasi local wisdom
Revitalisasi
adalah proses menumbuhkan kembali daya hidup, ruh, gairah, atau kekuatan.
Revitalisasi bukan hanya bermakna isi ulang kekuatan, akan tetapi sebuah proses
penambahan daya atau peningkatan kekuatan.[24]
Sedangkan local wisdom atau suatu kearifan lokal diartikan sebagai suatu
kekayaan yang berupa pengetahuan maupun budaya pada masyarakat tertentu yang
mengandung kebijakan dan pandangan hidup.[25]
Kearifan ini bukan hanya sekedar tradisi. Kearifan lokal merupakan hasil kemampuan
seseorang yang menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sebuah permasalahan
yang sedang dihadapi suatu lokal atau tempat.[26]
Sebagai
contoh di Indonesia dikenal dengan budaya gotong royong. Ini merupakan local
wisdom. Hal ini harus dipahami dari konteks mencari jalan agar masyarakat
kurang mampu bisa membangun peradaban. Ini merupakan karya akal untuk mensikapi
suatu situasi dan berkaitan dengan kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk
mengatasi suatu kondisi. Tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap
kukuh menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup pragmatis dan
konsumtif.
Secara
faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan
filosofis hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin
pragmatis. Seperti kearifan lokal yang tergambar dalam hemat pangkal kaya
yang juga semakin dilupakan masyarakat yang menganut falsafah hidup
konsumerisme. Penguatan terhadap kearifan lokal ini menjadi sangat penting,
dikarenakan tantangan arus modernisasi, liberalisasi dan globalisasi sudah
tidak terbendung. Tantangan seperti ini bisa-bisa menjadikan suatu negara jatuh
apabila tidak segera disiasati.
Kemudian
dapat disimpulkan, bahwa revitalisasi local wisdom dalam strategi
pengembangan kesatuan ilmu pegetahuan ini merupakan penguatan kembali
ajaran-ajaran luhur bangsa. Strategi revitalisasi local wisdom
sebagaimana kiranya yaitu adalah semua usaha untuk tetap setia pada ajaran
luhur budaya lokal dan pengembangannya guna penguatan karakter bangsa. Disini
penulis akan memberikan contoh mengenai local wisdom yang harus
dihidupkan kembali, misalnya gotong royong. Telah dijelaskan juga sebelumnya
bahwa rinsip gotong royong merupakan implementasi atas penalaran yang
mempertimbangkan segala keterbatasan masyarakat lokal. Kemudian ada molimo,
yaitu larangan untuk tidak melakukan main, madon, mabuk, madat, maling (judi,
zina, mabuk, narkoba, dan mencuri).
Revitalisasi
local wisdom dapat dilakukan dengan tiga cara :[27]
(1). pengakuan atas eksistensi local wisdom. (2). Pemanfaatan local
wisdom dalam aktivitas ilmiah. (3). Pengembangan dan pelestarian local
wisdom dalam aktivitas ilmiah.
C. Refleksi
Kita sekarang ini sedang belajar tentang filsafat ilmu. Kita mengingat
kembali bahwa akar ilmu itu ada tiga. Pertama, epistemologi. Ini
menyangkut sumber ilmu dan cara mendapatkan ilmu. Dalam bidang ini nilai-nilai
Islam bisa masuk. Dengan melihat ayat qauliyah dan hasil research
empiris, integrasi bisa dilakukan. Kalau hanya diserahkan kepada saintis
sekuler, integrasi akan berjalan lama. Apalagi kebanyakan ilmuan juga meniru
gurunya. Kalau gurunya jauh dari Tuhan, maka muridnya kurang lebih juga sama
jauhnya dari Tuhan. Kalau sejak awal sudah ditanamkan spirit ketuhanan maka
ilmuan tersebut akan bertindak tidak jauh dari Tuhan. Dalam epistemologi yang
berjiwakan unity of science dinyatakan bahwa Tuhan mendasari dan menjadi
muara semua ilmu dan aktivitas keilmuan.
Kedua, Ontologi. Ini
menyangkut apa yang dipelajari. Misalnya contoh kampus kita sedang melakukan
penelitian tentang makanan nabi dengan dana 5 milyar. Salah satu problem
ilmiahnya adalah mengapa Nabi ketika ada tamu selalu menyuguhi susu kambing dan
menyuguhkan kurma, bukan susu sapi atau unta. Dari contoh ini terlihat apa yang
dipelajari dalam unity of science itu mengarah pada Tuhan. Berbeda
dengan penelitian Barat tentang makanan dan pengobatan. Misalnya penelitian
tentang urin orang diabetes yang bisa dijadikan minuman berenergi atau yang
lainnya. Hal ini menunjukkan kajian yang
jauh dari sapaan wahyu.
Ketiga, aksiologi. Ini
berkaitan dengan tujuan ilmu. Ilmu itu sebenarnya untuk apa? Misalnya kita
ambil contoh matematika. Pada level epistemologi dan ontologi sama dengan
paradigma Barat, namun pada level aksiologi ini, Islamisasi harus terjadi. Jika
tujuan ilmu tidak untuk mendekati Tuhan, maka muncul fenomena orang berilmu
banyak namun jahat. Ilmunya hanya untuk kekuasaan. Bisa kita lihat sekarang
ini, di Indonesia jumlah jamaah haji sangat banyak, tetapi koruptor juga sangat
banyak. Mengapa? Karena orang-orang pintar di negeri kita ini juga meraka haji.
Mereka lupa bahwa kepintarannya mengandung tanggung jawab ketuhanan. Al-Qur’an
itu sebagai sumber petunjuk, alam juga sumber petunjuk dan keduanya pasti
cocok. Apabila terdapat ketidakcocokan maka kemungkinan kita salah dalam
memahami Al-Qur’an dan juga bisa salah dalam menggunakan akal dalam memahami
alam.
Kemudian menjawab pertanyaan yang muncul diawal, apakah konversi IAIN ke
UIN merupakan hal sama dengan PGA ke MAN? Sebelum itu, perlu diketahui perubahan
IAIN menjadi UIN adalah upaya melakukan Islamisasi, spiritualisasi, dan
integrasi antara ilmu pengetahuan.[28]
Menurut saya tidak sama. Paradigma MAN belum mencapai unity of science.
Ia baru menjajar antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan unity of science
akan menyatukan dua paradigma dengan landasan penyatu berupa tauhid. Disini
saya mengalami kebingungan, misalnya ketika kampus UIN Walisongo membuka
fakultas kedokteran. Apakah dokter tersebut harus pintar dalam hal agama? Saya
rasa tidak. kalaulah UIN bermaksud demikian, yang saya khawatirkan adalah
mahasiswa bukan semakin dalam ilmu agamanya, melainkan semakin kurang ilmu
agamanya, dan juga semakin dangkal ilmu kedokterannya.
Misalnya dibandingkan dengan al-Kindi, hal ini tentu sangat berbeda. Kalau
saya ungkapkan zaman dahulu masih zaman generalisasi. Sedangkan sekarang era
spesialisasi. Pertanyaan kembali untuk UIN, apakah kita ingin membentuk alumni
yang general kembali? Padahal sekarang adalah era spesialisasi. Spesialisasi
sekarang adalah hal yang khusus dan mendalam. Sebagai contoh dokter umum
sekarang kurang diminati, beralih dengan dokter spesialis.
Selanjutnya penulis akan mengomentari tentang simbol unity of science
UIN Walisongo yang digambarkan dengan model intan berlian. Sumbu paling tengah menggambarkan Allah sebagai
sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Kemudian memilki 5 sudut yang
mewakili rumpun keilmuan. Disini yang penulis perhatikan adalah posisi ilmu
baru yang terletak dibawah. Mengapa tidak dengan menambah sudut menjadi 6 agar ilmu
baru sejajar dengan rumpun keilmuan lainnya, serta sejalan dengan Undang-undang
mengenai 6 rumpun ilmu.[29] Kalau diletakkan dibawah maka akan terkesan
tidak jelas klasifikasi keilmuan tersebut.
Dari pernyataan yang telah disebutkan, dapat
diambil pemahaman bahwa humanisasi ini ditujukan pada ilmu-ilmu keislaman dan
spiritualisasi ditujukan pada ilmu-ilmu modern. Kemudian revitalisasi local
wisdom. Ini ditujukan pada siapa? Dirasa sangat penting karena ketiga hal
tersebut merupakan strategi pencapaian unity of science. Selain itu,
ketika membahas tentang local wisdom, ketika ada seorang bertanya pada
kami keluarga UIN Walisongo, apakah UIN Walisongo memiliki koleksi lengkap
tentang Walisongo? Atau mungkin adakah bahan-bahan research tentang
Walisongo di UIN ini? Sepertinya belum mendapat perhatian. Mungkin ada beberapa
alasan diantaranya adalah belum ada minat atau kemauan untuk melakukan
pengakjian terkait hal tersebut, kemudian mungkin juga karena ketika ada yang
mau akan tetapi tidak ada bahan atau sarana dalam melakukan pengkajian.
D. Kesimpulan
Untuk mengembangkan paradigma integrasi keilmuannya, UIN Walisongo
merancang “Kesatuan Ilmu” (Unity of Science) dengan model “Intan Berlian
Ilmu”, yang digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya M.A dan Dr. H. Muhyar Fanani. Dalam
mengembangkan paradigma unity of science, UIN Walisongo berpegang pada
prinsip-prinsip sebagai berikut : Integrasi, kolaborasi, dialektika,
prospektif, dan pluralistik.
Model pengembangan keilmuan integratif UIN Walisongo digambarkan dengan
model intan berlian dengan sumbu dan sisi yang saling berhubungan. Sumbu paling
tengah adalah Allah sebagai sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan
sisi-sisinya adalah ilmu agama dan humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu
kealaman, ilmu matematika dan sains komputer, serta ilmu profesi dan terapan. UIN
Walisongo menerapkan tiga model strategi untuk mengimplementasikan unity of
science, yaitu : Humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu
modern, dan revitalisasi local wisdom.
E. Daftar Pustaka
Alfath
Bagus, Alfath. Kolaborasi Kebaikan. Jakarta : Elex Media Komputindo. 2017.
Fanani,
Muhyar. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan. Semarang : Karya Adi Jaya.
2015.
Hardjana,
Agus M.. Religiositas Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta : Kansius. 2005.
Hidayat,
Komarudin & Putut Widjanarko. Reinventing Indonesia : Menemukan kembali
Masa Depan Bangsa. Jakarta : Mizan. 2008.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Walisongo,diakses pada tanggal 22 November 2018 pukul
23:14 WIB
Jurdi,
Syarifudin. Sosiologi Islam & Masyarakart Modern : Teori, Fakta, dan Aksi
Sosial. Jakarta : Kencana. 2010.
Nata,
Abuddin. Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta : Kencana. 2012.
Peraturan
Presiden nomor 130 tahun 2014 tentang perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN
Walisongo
Sholihan. Epistemologi
Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang : Walisongo Press. 2011.
Supena,
Ilyas. Pergeseran Paradigma Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang :
Karya Jaya Abadi. 2015.
Supriyanto
dkk. Islam and Local Wisdom : Religious Expression in Shoutheast Asia.
Yogyakarta : Deepublish. 2018.
Titus. Persoalan-persoalan
Filsafat,Terj.M. Rasjidi, Jakarta :Bulan Bintang.1984.
Undang-undang
no 12 tahun 2012 Bab 1 pasal 10 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Wathon,
Lalu Muhammad Nurul. Integrasi Pendidikan Islam dan Sains. Ponorogo : Uwais
Inspirasi Indonesia. 2002.
Zainuddin, M..
Filsafat Eklektika Islam. Yogyakarta : Nilai Pustaka. 2017.
[1] Sholihan, Epistemologi Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman,
(Semarang : Walisongo Press, 2011), hlm. 44
[6] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Walisongo, diakses pada tanggal 22 November 2018
pukul 23:14 WIB
[8] Pernyataan Dr. H. Abdul Muhaya dalam buku Muhyar Fanani, Paradigma
Kesatuan Ilmu Pengetahuan,… hlm. 319
[12] Lalu Muhammad Nurul Wathon, Integrasi Pendidikan Islam dan Sains,
(Ponorogo : Uwais Inspirasi Indonesia, 2002), hlm. 149
[13] Alfath Bagus, Kolaborasi Kebaikan, (Jakarta : Elex Media
Komputindo, 2017), hlm.102
[17] Ilyas Supena, Pergeseran Paradigma Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman,
(Semarang : Karya Jaya Abadi, 2015), hlm. 253.
[18] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam & Masyarakart Modern : Teori,
Fakta, dan Aksi Sosial, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 11
[23] Titus, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. M. Rasjidi, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1984), hlm. 251
[24] Komarudin Hidayat & Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia :
Menemukan kembali Masa Depan Bangsa, (Jakarta : Mizan, 2008), hlm. 156
[25] Supriyanto dkk, Islam and Local Wisdom : Religious Expression in
Shoutheast Asia, (Yogyakarta : Deepublish, 2018), hlm. 372
[28] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 58
makasih penjelasan
BalasHapussemoga bermanfaat
Hapus