Rabu, 27 Februari 2019

Integrasi Keilmuan UIN Walisongo Semarang ( Intan Berlian Ilmu)


MODEL PENGEMBANGAN KEILMUAN INTEGRATIF
DI UIN WALISONGO SEMARANG
(INTAN BERLIAN ILMU)

Very Aulia Rahman (18720056)
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrak
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mendiskripsikan secara sederhana mengenai model pengembangan keilmuan integratif di UIN Walisongo Semarang dengan mengusung model Intan Berlian Ilmu. Dalam pembahasan ini juga akan mendiskripsikan seputar paradigma kesatuan ilmu pengetahuan ( unity of science ) yang dikembangkan UIN Walisongo, yakni dengan menyatukan antara semua cabang ilmu dan memberikan landasan wahyu sebagai latar atau pengikat penyatuan. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan di Indonesia ditransformasi dalam ranah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang menjadi sentral perkembangan ilmu keislaman dengan harapan dapat mempercepat cita-cita islamisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam baik Negeri maupun Swasta, khususnya UIN Walisongo Semarang. Salah satu dari strategi pencapaian unity of science atau dikenal dengan wahdat al-ulum adalah transformasi dari IAIN menjadi UIN dengan Panca Kamil-nya, yaitu berbudi pekerti luhur, berwawasan kesatuan ilmu pengetahuan, berprestasi dalam akademik, berkarir dalam secara professional dan berkhidmah kepada masyarakat.

Kata Kunci : Unity of Science ( Wahdat al-ulum ), Intan Berlian Ilmu, UIN Walisongo Semarang

A.  Pendahuluan
Islam sudah ada sejak 14 abad yang lalu. Dalam kurun waktu tersebut Islam banyak mengalami kemajuan-kemajuan begitu juga kemuduran. Salah satu faktor kemjuan dan kemunduran Islam tentu erat kaitannya dengan rivalitas Islam dengan Barat yang sudah berlangsung sejak lama. Masa-masa kejayaan Islam dibuktikan oleh takluknya dua kerajaan besar yaitu Persia dan Romawi.[1] Kekuasaan Islam terbentang luas dari Asia bahkan juga Eropa. Barat kembali bangkit ketika runtuhnya kerajaan Islam di Spanyol. Kurang cakapnya generasi pemimpin kerajaan Islam pada waktu itu, membuat kerajaan Islam digulingkan oleh Barat. Selain itu juga terjadi perselisihan saudara atau perebutan kekuasaan di kalangan kerajaan.[2] Bangsa Barat mulai mengambil alih dan mengatur segala sektor bidang kehidupan. Hal inilah yang kemudian memicu munculnya imperialisme-kolonisme yang berlangsung lama.
Menurut pandangan penulis, hegemoni Barat atas dunia Islam masih dirasakan dampaknya hingga zaman modern seperti sekarang. Negara Islam dijadikan objek penjajahan dan eksploitasi oleh negara pendatang seperti halnya kasus Israel-Palestina. Agama Islam diperburuk citranya oleh media massa global dengan memanipulasi berita ataupun sebagainya. Islam dikenal sebagai bangsa yang tidak beradab, teroris, miskin, dan fanatik. Islam mengalami ketertinggalan dengan Barat yang kemudian membuat Islam jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam menyikapi ketertinggalan ini, umat Islam tentu sudah melakukan banyak usaha untuk beranjak dari ketertinggalannya, akan tetapi belum berhasil. Hal ini tentu ada faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu faktor terpenting yang melatarbelakangi adalah bangunan dan sistem epistemologi umat Islam yang memang tidak mendukung untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dengan Barat. Persoalan epistemologi dianggap faktor terpenting dalam keterbelakangan dunia Islam dikarenakan epistemologi adalah titik sentral dari setiap pandangan dunia, sehingga jenis suatu masyarakat yang dibangun pun akan dipengaruhi oleh sistem epistemologinya.[3]
Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Muhammad Arkoun melakukan kritik yang tajam terhadap sistem epistrmologi Islam. Merka adalah intelektual Islam kontemporer. Sebagian dari mereka memberikan respon epistemologi terhadap tantangan modernitas dengan melakukan usaha humanisasi ilmu-ilmu keislaman Sedangkan sebagian lainnya, yakni Seyyed Hossein Nasr, Mohammad Naquib al-Attas, dan Raji al-Faruqi memberikan respon dengan melakukan sebuah gerakan yang dikenal dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.[4]
Para intelektual kontemporer memperkenalkan perkembangan Islamisasi ilmu menjadi yang kemudian sebuah agenda besar umat Islam. Dari sinilah muncul ide-ide yang selanjutnya dibawa ke ranah pendidikan sebagai lembaga yang dianggap penting ada untuk merealisasikannya. Semangat gerakan Islamisasi Ilmu tentu masih berjalan sampai sekarang ini. Di Indonesia sendiri, upaya integrasi ilmu menjadi hal yang semakin gencar dilakukan di ranah perguruan tinggi, salah satunya adalah di UIN Walisongo Semarang.
Konversi IAIN menjadi UIN dilakukan sebagai salah satu percepatan mencapai integrasi ilmu sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal ini UIN Walisongo menunnggu momentum yang tepat bagi sains Islam untuk mengambil peran. Integrasi ilmu disini harus dilandasi paradigma bahwa semua ilmu pengetahuan itu harus mengantarkan manusia dekat dengan Tuhannya.[5]
Lantas kemudian mungkin akan timbul sebuah pertanyaan, apakah transformasi dari IAIN ke UIN dalam rangka integrasi ilmu bisa disamakan dengan semangat mengubah PGA menjadi MAN? Atau mungkin transformasi IAIN menjadi UIN hanya untuk meningkatkan jumlah mahasiwanya?
Untuk itu, dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai model pengembangan keilmuan integrative di UIN Walisongo yang mengusung simbol “Intan Berlian”, prinsi-prinsip tentang paradigm kesatuan ilmu pengetahuan (unity of science) dan strategi untuk mengimplementasikannya. Penulis juga akan memberikan masukan ataupun kritik terkait dengan model pengembangan keilmuan integrative di UIN Walisongo.

B.  Pembahasan
IAIN Walisongo berubah menjadi Universitas Islam Negeri Walisongo (UIN) Semarang secara resmi sejak 19 Desember 2014 bersamaan dengan dua UIN yang lain, yaitu UIN Raden Patah Palembang dan UIN Sumatera Utara.[6] Hal ini juga tercatat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN Walisongo yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Perpres tertulis bahwa perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN dalam rangka memeenuhi tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses integrasi ilmu agama Islam dengan ilmu lain serta mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.[7]
UIN Walisongo termasuk Universitas Islam yang baru hadir di Indonesia dibandingkan dengan Universitas Islam lainnya. UIN walisongo memiliki komitmen melakukan gerakan Islamisasi ilmu sebagaimana UIN lainnya. Hal ini dapat dilihat dari upaya UIN Walisongo membangun dan mengembangkan paradigma keilmuannya. UIN Walisongo sebagai Universitas baru memiliki ciri dan karakter yang berbeda dari UIN lainnya, misalnya UIN SUKA mengembangkan paradigma keilmuannya melalui Interkoneksi Ilmu, dengan simbol jaring laba-laba Amin Abdullah, UIN Malang dengan Pohon Ilmunya, maka UIN Walisongo memiliki bangunan paradigma sendiri.
UIN Walisongo merancang “Kesatuan Ilmu” (Unity of Science) dengan model “Intan Berlian Ilmu” untuk mengembangkan integrasi keilmuannya. Model tersebut digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya M.A dan Dr. H. Muhyar Fanani.[8] Menurut Muhyar Fanani, paradigma ini adalah bahwa semua ilmu pada dasarnya adalah satu kesatuan yang berasal dan bermuara dari Allah melalui wahyu-Nya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini wahyu menjadi sentral dan amat penting. Semua ilmu harus bisa berdialog dan bermuara pada satu tujuan, yaitu mengantarkan para pengkajinya untuk mengenal dan semakin dekat dengan Allah.[9]
Kesatuan ilmu yang dikembangkan UIN Walisongo adalah penyatuan antara semua cabang ilmu dengan memberikan landasan wahyu sebagai latar atau pengikat penyatuan. Dalam hal ini akan terlihat jelas perbedaan paradigma keilmuan Islam dengan Barat. Sebelum berbentuk Intan Berlian, paradigma kesatuan ilmu pengetahuan UIN Walisongo dapat digambarkan sebagai berikut :




Text Box: Ilmu Sosial
Ilmu Matematika dan Sains Komputer
 



Ilmu Kealamaan
 
                                                 

Ilmu Matematika dan Sains Komputer
 
 


Gambar I
Ilustrasi Gambaran paradigma unity of science UIN Walisongo[10]

Pada gambar diatas dapat kita lihat bahwa bundaran paling tengah adalah wahyu, sementara bundaran paling luar adalah alam. Sedangkan lima bundaran lainnya adalah ilmu agama dan humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman, ilmu matematika dan sains komputer, serta ilmu profesi dan terapan. Jika kita bandingkan dengan paradigma keilmuan Barat, yakni dikenal dengan Separation of Science tentu sangat berbeda. Paradigma Barat jika penulis gambarkan adalah sama-sama berbentuk lingkaran, satu sebagai pusat dan dikelilingi oleh 5 lingkaran yang lain. Perbedaanya terletak oleh posisi kelima lingkaran atau gugus ilmu yang tidak menyatu dan terletak saling berjauhan.[11] Hal ini menunjukkan bahwa paradigma keilmuan Barat bahwa pusat ilmu yang berada di tengah tidak mampu  menyapa 5 gugus ilmu yang lain, bertolakbelakang dengan paradigma keilmuan Islam.
Dalam mengembangkan paradigma kesatuan ilmunya (Unityof Science), UIN Walisongo memegang prinsip-pinsip paradigma sebagai berikut :
1.      Integrasi. Integrasi berarti menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan dua hal atau lebih menjadi satu.[12] Prinsip meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang bersumber dari Allah yang diperoleh melalui para nabi, eksplorasi akal, maupun eksplorasi alam.
2.      Kolaborasi. Kolaborasi adalah melakukan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.[13] Dalam hal ini kolaborasi berarti memadukan nilai universal Islam dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia.
3.      Dialektika. Prinsip ini meniscayakan dialog yang intens antara ilmu-ilmu yang berakar pada wahyu (reavealed sciences), ilmu pengetahuan modern (modern sciences), dan kerifan lokal (local wisdom).
4.      Prospektif. Prinsip ini meyakini bahwa unity of science akan menghasilkan ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang bermanfaat bagi pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta kelestarian alam.
5.      Pluralistik. Prinsip ini meyakini adanya pluralitas realitas dan metode dalam semua aktivitas keilmuan.[14]
Paradigma integrasi “Kesatuan Ilmu” UIN Walisongo ini dapat digambarkan dengan model “Intan Berlian” yang sangat indah dan bernilai tinggi, memancarkan sinar, memiliki sumbu dan sisi yang saling berhubungan satu sama lain. Sumbu paling tengah menggambarkan Allah sebagai sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Kemudian sisi-sisinya menggambarkan gugus ilmu yang kesemuanya akan dikembangkan oleh UIN Walisongo. Ada 5 gugus ilmu :
1.      Ilmu agama dan Humaniora, yaitu ilmu-ilmu yang muncul saat manusia belajar tentang agama dan diri sendiri, seperti ilmu-ilmu keislaman seni, sejarah, bahasa, dan filsafat.
2.      Ilmu-ilmu sosial, yaitu sains sosial yang muncul saat manusia belajar interaksi antar sesamaqnya, seperti sosiologi, ekonomi, geografi, politik, dan psikologi.
3.      Ilmu-ilmu kealaman, yaitu saat manusia belajar fenomena alam, seperti kimia,fisika, antariksa, dan geologi.
4.      Ilmu matematika dan sains komputer, yaitu ilmu yang muncul saat manusia mengkuantisasi gejala sosial dan alam, seperti komputer, logika, matematika, dan statistik.
5.      Ilmu-ilmu profesi dan terapan, yaitu ilmu-ilmu yang muncul saat manusia menggunakan kombinasi dua atau lebih keilmuan diatas untuk memecakan problem yang dihadapinya, seperti pertanian, manajemen, arsitektur, bisnis, hukum, dan pendidikan.
Setelah tadi dijelaskan bahwa awal ilustrasi model kesatuan integrasi ilmu UIN Walisongo hanya berbentuk lingkaran-lingkaran yang saling berkaitan, kemudian sekarang muncul gagasan bertransformasi bentuk menjadi sebuah intan berlian. Gambar intan berlian di bawah ini mengilustrasikan paradigma unity of science UIN Walisongo Semarang :







Gambar II.
Diamond paradigma unity of science UIN Walisongo[15]
Ilustrasi gambar diatas menyatakan bahwa alumni UIN Walisongo dibekali ilmu-ilmu yang menjadi fokus kajian mahasiswa yang kesemuanya disinari dan dibimbing oleh wahyu Allah. Ilmu-ilmu yang dipelajari harus memenuhi tiga syarat : (1). Ilmu itu mengantarkan pengkajinya semakin mengenal Tuhannya. (2). Ilmu itu bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam. (3). Ilmu itu mampu mendorong berkembangnya ilmu-ilmu baru yang berbasis pada kearifan lokal (local wisdom).[16]
Paradigma unity of science ini mengandung gagasan untuk mendialogkan antara ilmu-ilmu rasional dan religious science dalam sebuah sistem yang padu dan harmonis. Agama dan Ilmu memiliki keterkaitan satu sama lain. Hubungan tersebut adalah konflik (bertentangan), independensi (masing-masing berdiri sendiri), dialog (berkomunikasi) dan integrasi (menyatu dan besinergi). Dalam konteks ini, dialog-integratif ini sesungguhnya yang ingin dikedepankan oleh unity of science.[17]
Upaya mengimplementasikan unity of science, UIN Walisongo menerapkan tiga model strategi : Humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi local wisdom.
1.      Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman
Humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kebencian dari manusia.[18] Strategi humanisasi ilmu-ilmu keislaman mencakup segala upaya untuk memadukan nilai universal Islam dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia. Humanisasi tidak lain membuat ilmu-ilmu agama itu menjadi relevan dengan tantangan zaman pada sekarang.[19] Hal yang dimaksudkan disini adalah bahwa ilmu keislaman itu harus hadir untuk memberikan solusi terhadap segala persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Menganalisa penjelasan diatas, bahwa Islam akan mewarnai perilaku manusia. Namun kenyataannya terutama di negara kita, pemahaman atas Islam sekarang ini masih kurang sehingga Islam belum bisa mewarnai perilakunya. Jika demikian lantas apakah seseorang dianggap muslim hanya bila ia ke masjid, atau ketika berumroh maupun berhaji. Padahal bukan seperti itu. kita juga harus melihat sisi lainnya, seperti bagaimana cara  mencari uangnya? Bagaimana seorang muslim harus bekerja? Bagaimana melakukan segala kegiatannya? Ini kiranya juga menjadi perhatian Islam. Disini peran ilmu agama sangat penting guna menjadikan manusia menjadi lebih baik.
Dalam merealisasikan humanisasi ilmu-ilmu keislaman, UIN Walisongo tentu memiliki langkah-langkah, salah satunya yang mungkin bisa penulis paparkan adalah dengan menghumanisasikan nama-nama fakultas. Seperti halnya di UIN Walisongo ada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tarbiyah ibarat ilmu langit, kemudian keguruan adalah ilmu bumi. Maka keduanya digabung. Selain itu juga ada Fakultas Dakwah dan Komunikasi dan fakultas-fakultas lainnya. Humanisasi juga dirasa akan selalu menguatkan Iman, Islam dan Ihsan. Apabila muncul sebuah pemikiran baru, maka perlu dilihat dulu apakah menguatkan atau mendangkalkan Iman, Islam dan Ihsan. Kalau ternyata mendangkalkan ketiganya harus ditolak. Sebaliknya apabila menguatkan ketiganya maka bisa kita gunakan.
Dengan strategi pengembangan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan melalui humanisasi ilmu-ilmu keislaman ini diharapkan ilmu-ilmu tersebut dapat membumi dan dekat dengan permasalahan yang sedang dialami manusia.[20] Dengan demikian berarti humanisasi berarti relevansi dari ilmu-ilmu Islam untuk menangani masalah sekarang ini. Dengan ungkapan lain, humanisasi berarti revitalisasi ilmu-ilmu Islam dalam memberikan solusi untuk masalah hidup modern.
2.      Spiritualisasi ilmu-ilmu modern
Berasal dari spiritualitas, yang berarti hidup yang didasarkan pada pengaruh dan bimbingan Allah.[21] Disini strategi spiritualisasi bermaksud memberikan pijakan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah) dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada peningkatan kualitas/keberlangsungan hidup manusia dan alam serta bukan penistaan atau perusakan keduanya. Kegagalan paradigma sains Barat, menurut Kuntowijoyo, adalah sifatnya yang sekuler. Paradigma sekuler perlu disuntik dengan etika humanisme. Semangat ilmu yang dikembangkan Barat adalah menghilangkan pesan-pesan spiritual. Hal ini menjadi akar masalah tumpulnya sains modern dalam penyelesaian masalah kemanusiaan dan peradaban.[22]
Cara berpikir Barat yang sangat mementingkan skeptisisme, yaitu cara berpikir yang menekankan pentingnya keraguan akan segala segala sesuatu. Keraguan adalah pergerakan antara dua hal yang saling bertentangan tanpa ada kecenderungan pada salah satunya.[23] Cara berpikir ini menempatkan segala objek sebagai sesuatu yang layak diragukan kebenarannya. Dalam keadaan demikian, objek dibiarkan bergerak tanpa kepastian. Kepastian yang bersifat sementara dapat dicapai setelah diuji secara rasional dan empiris. Selanjutnya, kepastian sementara itu diragukan lagi.
Maka dengan melihat pernyataan diatas, bahwa ilmu-ilmu modern, khususnya ilmu-ilmu kealaman itu diajari untuk menjadi tidak bertuhan. Semua yang terjadi tidak perlu tangan Tuhan. Hukum-hukum alam bagi mereka mungkin sudah bisa menjelaskan bagaimana alam itu dilahirkan. Tentu pemahaman yang demikian sangat berbeda dengan pemahaman penciptaan yang ada di Ilmuan muslim. Ilmu-ilmu modern harus lebih dipahami lebih mendasar dan kembali pada hikmah suatu ilmu pengetahuan. Wahyu mengajarkan bahwa alam semesta yang seimbang ini adalah hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Wahyu semestinya menjadi sumber utama pengembangan ilmu-ilmu sains modern. Sumber wahyu itu kemudian didialogkan dengan realitas objektif.
3.      Revitalisasi local wisdom
Revitalisasi adalah proses menumbuhkan kembali daya hidup, ruh, gairah, atau kekuatan. Revitalisasi bukan hanya bermakna isi ulang kekuatan, akan tetapi sebuah proses penambahan daya atau peningkatan kekuatan.[24] Sedangkan local wisdom atau suatu kearifan lokal diartikan sebagai suatu kekayaan yang berupa pengetahuan maupun budaya pada masyarakat tertentu yang mengandung kebijakan dan pandangan hidup.[25] Kearifan ini bukan hanya sekedar tradisi. Kearifan lokal merupakan hasil kemampuan seseorang yang menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sebuah permasalahan yang sedang dihadapi suatu lokal atau tempat.[26]
Sebagai contoh di Indonesia dikenal dengan budaya gotong royong. Ini merupakan local wisdom. Hal ini harus dipahami dari konteks mencari jalan agar masyarakat kurang mampu bisa membangun peradaban. Ini merupakan karya akal untuk mensikapi suatu situasi dan berkaitan dengan kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi suatu kondisi. Tidak ada jaminan bahwa kearifan lokal akan tetap kukuh menghadapi globalisasi yang menawarkan gaya hidup pragmatis dan konsumtif.
Secara faktual dapat kita saksikan bagaimana kearifan lokal yang sarat kebijakan dan filosofis hidup nyaris tidak terimplementasikan dalam praktik hidup yang makin pragmatis. Seperti kearifan lokal yang tergambar dalam hemat pangkal kaya yang juga semakin dilupakan masyarakat yang menganut falsafah hidup konsumerisme. Penguatan terhadap kearifan lokal ini menjadi sangat penting, dikarenakan tantangan arus modernisasi, liberalisasi dan globalisasi sudah tidak terbendung. Tantangan seperti ini bisa-bisa menjadikan suatu negara jatuh apabila tidak segera disiasati.
Kemudian dapat disimpulkan, bahwa revitalisasi local wisdom dalam strategi pengembangan kesatuan ilmu pegetahuan ini merupakan penguatan kembali ajaran-ajaran luhur bangsa. Strategi revitalisasi local wisdom sebagaimana kiranya yaitu adalah semua usaha untuk tetap setia pada ajaran luhur budaya lokal dan pengembangannya guna penguatan karakter bangsa. Disini penulis akan memberikan contoh mengenai local wisdom yang harus dihidupkan kembali, misalnya gotong royong. Telah dijelaskan juga sebelumnya bahwa rinsip gotong royong merupakan implementasi atas penalaran yang mempertimbangkan segala keterbatasan masyarakat lokal. Kemudian ada molimo, yaitu larangan untuk tidak melakukan main, madon, mabuk, madat, maling (judi, zina, mabuk, narkoba, dan mencuri).
Revitalisasi local wisdom dapat dilakukan dengan tiga cara :[27] (1). pengakuan atas eksistensi local wisdom. (2). Pemanfaatan local wisdom dalam aktivitas ilmiah. (3). Pengembangan dan pelestarian local wisdom dalam aktivitas ilmiah.




C.  Refleksi
Kita sekarang ini sedang belajar tentang filsafat ilmu. Kita mengingat kembali bahwa akar ilmu itu ada tiga. Pertama, epistemologi. Ini menyangkut sumber ilmu dan cara mendapatkan ilmu. Dalam bidang ini nilai-nilai Islam bisa masuk. Dengan melihat ayat qauliyah dan hasil research empiris, integrasi bisa dilakukan. Kalau hanya diserahkan kepada saintis sekuler, integrasi akan berjalan lama. Apalagi kebanyakan ilmuan juga meniru gurunya. Kalau gurunya jauh dari Tuhan, maka muridnya kurang lebih juga sama jauhnya dari Tuhan. Kalau sejak awal sudah ditanamkan spirit ketuhanan maka ilmuan tersebut akan bertindak tidak jauh dari Tuhan. Dalam epistemologi yang berjiwakan unity of science dinyatakan bahwa Tuhan mendasari dan menjadi muara semua ilmu dan aktivitas keilmuan.
Kedua, Ontologi. Ini menyangkut apa yang dipelajari. Misalnya contoh kampus kita sedang melakukan penelitian tentang makanan nabi dengan dana 5 milyar. Salah satu problem ilmiahnya adalah mengapa Nabi ketika ada tamu selalu menyuguhi susu kambing dan menyuguhkan kurma, bukan susu sapi atau unta. Dari contoh ini terlihat apa yang dipelajari dalam unity of science itu mengarah pada Tuhan. Berbeda dengan penelitian Barat tentang makanan dan pengobatan. Misalnya penelitian tentang urin orang diabetes yang bisa dijadikan minuman berenergi atau yang lainnya.  Hal ini menunjukkan kajian yang jauh dari sapaan wahyu.
Ketiga, aksiologi. Ini berkaitan dengan tujuan ilmu. Ilmu itu sebenarnya untuk apa? Misalnya kita ambil contoh matematika. Pada level epistemologi dan ontologi sama dengan paradigma Barat, namun pada level aksiologi ini, Islamisasi harus terjadi. Jika tujuan ilmu tidak untuk mendekati Tuhan, maka muncul fenomena orang berilmu banyak namun jahat. Ilmunya hanya untuk kekuasaan. Bisa kita lihat sekarang ini, di Indonesia jumlah jamaah haji sangat banyak, tetapi koruptor juga sangat banyak. Mengapa? Karena orang-orang pintar di negeri kita ini juga meraka haji. Mereka lupa bahwa kepintarannya mengandung tanggung jawab ketuhanan. Al-Qur’an itu sebagai sumber petunjuk, alam juga sumber petunjuk dan keduanya pasti cocok. Apabila terdapat ketidakcocokan maka kemungkinan kita salah dalam memahami Al-Qur’an dan juga bisa salah dalam menggunakan akal dalam memahami alam.
Kemudian menjawab pertanyaan yang muncul diawal, apakah konversi IAIN ke UIN merupakan hal sama dengan PGA ke MAN? Sebelum itu, perlu diketahui perubahan IAIN menjadi UIN adalah upaya melakukan Islamisasi, spiritualisasi, dan integrasi antara ilmu pengetahuan.[28] Menurut saya tidak sama. Paradigma MAN belum mencapai unity of science. Ia baru menjajar antara ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan unity of science akan menyatukan dua paradigma dengan landasan penyatu berupa tauhid. Disini saya mengalami kebingungan, misalnya ketika kampus UIN Walisongo membuka fakultas kedokteran. Apakah dokter tersebut harus pintar dalam hal agama? Saya rasa tidak. kalaulah UIN bermaksud demikian, yang saya khawatirkan adalah mahasiswa bukan semakin dalam ilmu agamanya, melainkan semakin kurang ilmu agamanya, dan juga semakin dangkal ilmu kedokterannya.
Misalnya dibandingkan dengan al-Kindi, hal ini tentu sangat berbeda. Kalau saya ungkapkan zaman dahulu masih zaman generalisasi. Sedangkan sekarang era spesialisasi. Pertanyaan kembali untuk UIN, apakah kita ingin membentuk alumni yang general kembali? Padahal sekarang adalah era spesialisasi. Spesialisasi sekarang adalah hal yang khusus dan mendalam. Sebagai contoh dokter umum sekarang kurang diminati, beralih dengan dokter spesialis.
Selanjutnya penulis akan mengomentari tentang simbol unity of science UIN Walisongo yang digambarkan dengan model intan berlian. Sumbu paling tengah menggambarkan Allah sebagai sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Kemudian memilki 5 sudut yang mewakili rumpun keilmuan. Disini yang penulis perhatikan adalah posisi ilmu baru yang terletak dibawah. Mengapa tidak dengan menambah sudut menjadi 6 agar ilmu baru sejajar dengan rumpun keilmuan lainnya, serta sejalan dengan Undang-undang mengenai 6 rumpun ilmu.[29] Kalau diletakkan dibawah maka akan terkesan tidak jelas klasifikasi keilmuan tersebut.
Dari pernyataan yang telah disebutkan, dapat diambil pemahaman bahwa humanisasi ini ditujukan pada ilmu-ilmu keislaman dan spiritualisasi ditujukan pada ilmu-ilmu modern. Kemudian revitalisasi local wisdom. Ini ditujukan pada siapa? Dirasa sangat penting karena ketiga hal tersebut merupakan strategi pencapaian unity of science. Selain itu, ketika membahas tentang local wisdom, ketika ada seorang bertanya pada kami keluarga UIN Walisongo, apakah UIN Walisongo memiliki koleksi lengkap tentang Walisongo? Atau mungkin adakah bahan-bahan research tentang Walisongo di UIN ini? Sepertinya belum mendapat perhatian. Mungkin ada beberapa alasan diantaranya adalah belum ada minat atau kemauan untuk melakukan pengakjian terkait hal tersebut, kemudian mungkin juga karena ketika ada yang mau akan tetapi tidak ada bahan atau sarana dalam melakukan pengkajian.

D.  Kesimpulan
Untuk mengembangkan paradigma integrasi keilmuannya, UIN Walisongo merancang “Kesatuan Ilmu” (Unity of Science) dengan model “Intan Berlian Ilmu”, yang digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya M.A dan Dr. H. Muhyar Fanani. Dalam mengembangkan paradigma unity of science, UIN Walisongo berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut : Integrasi, kolaborasi, dialektika, prospektif, dan pluralistik.
Model pengembangan keilmuan integratif UIN Walisongo digambarkan dengan model intan berlian dengan sumbu dan sisi yang saling berhubungan. Sumbu paling tengah adalah Allah sebagai sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan sisi-sisinya adalah ilmu agama dan humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman, ilmu matematika dan sains komputer, serta ilmu profesi dan terapan. UIN Walisongo menerapkan tiga model strategi untuk mengimplementasikan unity of science, yaitu : Humanisasi ilmu-ilmu keislaman, spiritualisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi local wisdom.







E.   Daftar Pustaka
Alfath Bagus, Alfath. Kolaborasi Kebaikan. Jakarta : Elex Media Komputindo. 2017.
Fanani, Muhyar. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan. Semarang : Karya Adi Jaya. 2015.
Hardjana, Agus M.. Religiositas Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta : Kansius. 2005.
Hidayat, Komarudin & Putut Widjanarko. Reinventing Indonesia : Menemukan kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta : Mizan. 2008.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Walisongo,diakses pada tanggal 22 November 2018 pukul 23:14 WIB
Jurdi, Syarifudin. Sosiologi Islam & Masyarakart Modern : Teori, Fakta, dan Aksi Sosial. Jakarta : Kencana. 2010.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana. 2012.
Peraturan Presiden nomor 130 tahun 2014 tentang perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN Walisongo
Sholihan. Epistemologi Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang : Walisongo Press. 2011.
Supena, Ilyas. Pergeseran Paradigma Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang : Karya Jaya Abadi. 2015.
Supriyanto dkk. Islam and Local Wisdom : Religious Expression in Shoutheast Asia. Yogyakarta : Deepublish. 2018.
Titus. Persoalan-persoalan Filsafat,Terj.M. Rasjidi, Jakarta :Bulan Bintang.1984.
Undang-undang no 12 tahun 2012 Bab 1 pasal 10 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Wathon, Lalu Muhammad Nurul. Integrasi Pendidikan Islam dan Sains. Ponorogo : Uwais Inspirasi Indonesia. 2002.
Zainuddin, M.. Filsafat Eklektika Islam. Yogyakarta : Nilai Pustaka. 2017.



[1] Sholihan, Epistemologi Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, (Semarang : Walisongo Press, 2011), hlm. 44
[2] M. Zainuddin, Filsafat Eklektika Islam, (Yogyakarta : Nilai Pustaka, 2017), hlm.136
[3]  Sholihan, Epistemologi Pengembangan,… hlm. 45
[4]  Sholihan, Epistemologi Pengembangan,… hlm. 61
[5] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan, (Semarang, Karya Adi Jaya, 2015), hlm. 166
[6] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Universitas_Islam_Negeri_Walisongo, diakses pada tanggal 22 November 2018 pukul 23:14 WIB
[7] Peraturan Presiden nomor 130 tahun 2014 tentang perubahan IAIN Walisongo menjadi UIN Walisongo
[8] Pernyataan Dr. H. Abdul Muhaya dalam buku Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan,… hlm. 319
[9] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 202
[10]  Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 39
[11]  Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 40
[12] Lalu Muhammad Nurul Wathon, Integrasi Pendidikan Islam dan Sains, (Ponorogo : Uwais Inspirasi Indonesia, 2002), hlm. 149
[13] Alfath Bagus, Kolaborasi Kebaikan, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2017), hlm.102
[14]  Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 54-55
[15] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 43-45
[16] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 45
[17] Ilyas Supena, Pergeseran Paradigma Epistemologi Ilmu-ilmu Keislaman, (Semarang : Karya Jaya Abadi, 2015), hlm. 253.
[18] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam & Masyarakart Modern : Teori, Fakta, dan Aksi Sosial, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 11
[19] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 56-57
[20] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 64
[21] Agus M. Hardjana, Religiositas Agama dan Spiritualitas, (Yogyakarta : Kansius, 2005), hlm. 64
[22]  Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 65-66
[23] Titus, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. M. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 251
[24] Komarudin Hidayat & Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia : Menemukan kembali Masa Depan Bangsa, (Jakarta : Mizan, 2008), hlm.  156
[25]  Supriyanto dkk, Islam and Local Wisdom : Religious Expression in Shoutheast Asia, (Yogyakarta : Deepublish, 2018), hlm. 372
[26]  Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 70
[27] Muhyar Fanani, Paradigma Kesatuan,… hlm. 75
[28] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 58
[29] Undang-undang no 12 tahun 2012 Bab 1 pasal 10 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Share:

2 komentar:

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI