Kamis, 28 Februari 2019

Ilmu Hadis dan Pembukuannya


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Ketika kita mengkaji ilmu hadis atau atau lebih popular dengan nama ilmu Musthalah Hadis, maka kita akan mendapati bahwa bagian terpenting yang menjadi objek kajisan dalam disiplin ilmu ini adalah meneliti otentisitas suatu hadis. Karenanya, dalam sudut pandang ini secara praktis ilmu hadis (ulumul hadis) sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya sangat terbatas, karena semua masalah yang timbul masih dapat dikembalikan langsung kepada Nabi SAW untuk dilakukan sehinnga mampu cek dan riceknya.[1]
Banyak dari sahabat pada waktu itu yang menghapal hadis dan menyampai-kannya dari mulut ke mulut. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Akan tetapi berjalannya waktu jumlah para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingat-annya semakin berkurang karena meninggal dunia. Kemudian dilakukan pembukuan hadis untuk menjaga hadis-hadis nabi.
Dari latar belakang masalah diatas kami menyusun  makalah ini guna menje-laskan mengenai Ilmu hadis dan Sejarah Pembukuannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Ilmu Hadis
2.      Cabang-cabang Ilmu Hadis
3.      Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis
4.      Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadis









BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ilmu Hadis
Kata “ilmu hadis” merupakan kata serapan dari bahasa Arab “ilmu al-hadits”, yang terdiri atas dua kata, yaitu “ilmu” dan “hadits”. Jika mengacu kepada pengertian hadis, berarti ilmu pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun lainnya, maka semua ilmu yang membicarakan masalah hadis pada berbagai aspeknya berarti termasuk ilmu hadis.[2]
Secara terminologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi, dalam kitab-nya, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, ilmu hadis ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اتِّصَالِ الْحَدِيْثِ بِرَسُوْلِ اللهِ ص.م. مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ ضَبْطًا وَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ
كَيْفِيَّةِ السَّنَدِ اتِّصَالًا وَانْقِطَاعًاوَغَيْرِ ذَلِكَ .
Artinya: “Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal para perawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.”[3]

Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-hadits, seperti Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya ‘Ulum Al-Hadits, dan ada juga yang menggunakan bentuk ‘ilm al-hadits, seperti Jalaluddin As-Suyuthi dalam mukadimah kitab hadisnya, Tadrib Ar-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW. yang banyak macam dan cabangnya. Hakim An-Naisaburi (321 H/933 M – 405 H/1014 M) misalnya, dalam kitabnya Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits menggunakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir Al-Hazimi, ahli hadis klasik, me-ngatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.

1.      Ilmu Hadis Riwayah
Kata riwayah, artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, seperti terkutip dalam kitab karangan As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Ilmu hadis riwayah yaitu,
عِلْمُ الْحَدِيْثِ الْخَاصُّ بِالرِّوَايَةِ عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ ص.م. وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَاوَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا .
Artinya: “Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW., periwayatnnya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.”

Namun, menurut ‘Itr, definisi ini mendapat sanggahan dari beberapa ulama hadis lainnya karena definisi ini tidak komprehensif, tidak menyebutkan ketetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Definisi ini juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadis itu mencakup segala apa yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabiin sehingga perngertian hadis yang lebih tepat, menurut ‘Itr, dalam kitabnya, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, ilmu hadis riwayah adalah,
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَصِفَاتِهِ وَرِوَايَتِهَاوَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا .
Artinya: “Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW., periwayatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya.”[4]

Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51 – 124 H), seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, Az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang meng-himpun hadis Nabi SAW. atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/ 717 M – 102 H/ 720 M).

2.      Ilmu Hadis Dirayah
Istilah ilmu hadis dirayah, menurut As-Suyuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul ah-hadits, ‘ulum al-hadits, musthalah al-hadits, dan qawa’id al-hadits.
Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, dalam kitab karangan ‘Itr. Hadis dirayah yaitu,
عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ .
Artinya: “Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang denganyya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.”

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampai-kan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.[5]
Dengan mengetahui ilmu hadis dirayah, kita bisa me-ngetahui dan menetapkan maqbul (diterima) dan mardud (ditolak)-nya suatu hadis. Karena dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW. telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah, kita dapat me-neliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW., yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).[6]

B.     Cabang-cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah itu, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya, yaitu:
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits
Secara bahasa, kata rijal al-hadits, artinya orang-orang di sekitar hadis, maka kata ‘ilmu rijal al-hadits, artinya ialah ilmu tentang orang-orang di sekitar hadis. Secara terminologis, ilmu rijal al-hadis ialah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُوَاةُ الْحَدِيْثِ أَنَّهُمْ رُوَاةٌ لِلْحَدِيْثِ .
Artinya: “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadis.”[7]

Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis. Hal ini karena sebagaimana diketahui, bahwa objek kajian hadis pada dasarnya hanya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu rijal al-hadits, dalam hal ini mengambil porsi khusus mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini adalah Al-Bukhari, ‘Izzad-Bin bin Al-Atsir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Atsir (630 H), ulama abad ke-7 hijriyah, yang berhasil menyusun kitab Usud al-Gabah fi Asma ash-Shahabah. Kitab ini memuat uraian tentang para sahabat Nabi SAW. atau rijal al-hadits pada thabaqah pertama, meskipun di dalamnya terdapat nama-nama yang bukan sahabat.

2.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu rijal al-hadits. Secara bahasa, kata al-jarh, artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil, artinya mengendalikan atau menyamakan. Maka kata ilmu al-jarh wa at-ta’dil artinya adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Secara terminologis, ada ulama yang mendefinisikannya secara ter-pisah antara istilah al-jarh dan at-ta’dil, dan ada yang secara bersama-sama.
Dalam kitab karangan Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, yang diterjemah-kan oleh Mujiyo, ara ahli hadis mendefinisikan al-jahr dengan:
الْجَرْحُ عِنْدَ الْمُحَدِّثِيْنَ الطَّعْنُ فِيْ رَاوِي الْحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يُحِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ .
Artinya: “Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya.”

Sedangkan at-ta’dil secara bahasa berarti at-taswiyah (menyamakan), menurut istilah berarti
وَالتَّعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَّةُ الرَّاوِيْ وَالْحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ .
Artinya: “Ta’dil adalah kebalikan dari jahr, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia adil atau dhabith.”[8]

Dalam kitab karangan Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuh, ulama lain yang mendefinisikan al-jahr dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَ فِيْ شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشْنِيْهِمْ أَوْ يُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ .
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang para rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafal tertentu.”[9]

Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui ke-‘adil-an para rawi, antara lain ‘فُلانٌ أَوْثَقُ النَّاسِ  (fulan orang yang peling dipercaya)’, ‘فُلانٌ ضَابِطٌ  (fulan kuat hapalannya)’, dan sebagainya. Adapun contoh untuk mengetahui kecacatan rawi, antara lain ‘فُلانٌ أَكْذَبُ النَّاسِ (fulan orang yang paling berdusta)’, ‘فُلانٌ مُتَّهَمٌ بِالْكَذَبِ (ia tertuduh dusta)’, dan sebagainya.
Sebagaimana ilmu rijal al-hadits, ilmu ini juga sangat penting kedu-dukannya dalam kajian ilmu hadis, terutama karena peranannya dalam mene-tapkan ‘adil atau tidaknya, dhabit atau tidaknya, dan diterima atau tidaknya seorang rawi dalam meriwayatkan hadis.
Di antara pemuka-pemuka jarh wa at-ta’dil adalah Yahya ibnu Main (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibnu Sa’ad (w. 230 H), Ali ibnul Madini (w. 234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (w. 235 H), dan Ishaq ibnu Rahawali (w. 237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (w. 255 H), Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali (w. 261 H), Muslim (w. 252 H), Abu Zurah (264 H), baqi ibnu Mukhallad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah Thabaqat Ibn Sa’ad dan At-Takmil fi Ma’rifat Ats-Tsiqat wa Adh-Dhu’afa wa Al-Majahil.[10]

3.      Ilmu Fannil Mubhamat
Dalam buku karangan M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, yang dimaksud dengan ilmu fannil mubhamat adalah,
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِيْ وَقَعَ فِي الْمَتْنِ أَوْ فِي السَّنَدِ .
Artinya: “Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau dalam sanad.”

Di antara ulama yang menyusun kitab dalam masalah ini adalah Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab Al-Khatib ini diringkas dan diteliti oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat ila Bayani Asma Al-Mubhamat.
Rawi-rawi yang tidak disebutkan namanya dalam Shahih Bukhari diterangkan dengan lengkap oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.[11]

4.      Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Yang dimaksud dengan ilmu ilal al-hadits menurut ulama Muhadditsin adalah,
عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنِ الْأَسْبَابِ الْخَفِيَّةِ الْغَامِضَةِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهَا تَقْدَحُ فِيْ صِحَّةِ الْحَدِيْثِ كَوَصْلٍ مُنْقَطِعٍ مَرْفُوْعٍ
مَوْقُوْفٍ وَإِدْخَالِ الْحَدِيْثِ فِيْ حَدِيْثٍ وَمَا شَابَهَ ذلِكَ .
Artinya: “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis, misalnya mengatakan muttasil terhadap hadis yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadis mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis lain, dan hal-hal lain seperti itu.”[12]

5.      Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharib al-hadits adalah,
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَا وَقَعَ فِيْ مُتُوْنِ الْأَحَادِيْثِ .
Artinya: “Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum.”

Ilmu gharib al-hadits ini membahas lafazh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadis.
Upaya para ulama muhadditsin untuk menafsirkan ke-gharib-an matan hadis antara lain:
a.       Mencari dan menelaah hadis yang sanad-nya berlainan dengan yang ber-matan gharib.
b.      Memerhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadis atau sahabat lain yang tidak meriwayatkan.
c.       Memerhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.[13]

6.      Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh
Nasakh secara etimologi berarti ‘اْلإِزَالَةُ  (menghilangkan)’ dan ‘النَّقْلُ  (mengutip, menyalin), sedangkan ilmu nasikh wa al-mansukh hadis, menurut ulama hadis adalah,
الْعِلْمُ الَّذِيْ يُبْحَثُ عَنِ اْلأَحَادِيْثِ اْلمُتَعَارِضَةِ الَّتِيْ لَا يُمْكِنُ التَّوْفِيْقُ بَيْنَهَا مِنْ حَيْثُ اْلحُكْمِ عَلَى بَعْضِهَا بِأَنَّهُ
نَاسِخٌ وَعَلَى بَعْضِهَا اْلأَخَر بِأَنَّهُ مَنْسُوْخٌ فَمَا ثَبَتَ تَقَدُّمُهُ كَانَ نَاسِخًا وَمَا ثَبَتَ تَأَخُّرُهُ كَانَ نَاسِخًا .
Artinya: “Ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan seba-giannya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansukh’. Yang terbukti datang terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh.”

Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadis bila ada dua hadis maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif Al-Hadits, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromi-kan), hadis maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana di antara kedua hadis yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahi nasakh, yakni penjelasan Rasulullah SAW. sendiri, keterangan sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.[14]



7.      Ilmu Talfiq Al-Hadits
Dalam kitab karangan Ash-Shiddieqy, ilmu talfiq al-hadits adalah,
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ التَّوْفِيْقُ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ اْلمُتَّنَا فِضَةِ ظَاهِرًا .
Artinya: “Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang ber-lawanan lahirnya.”

Disana diterangkan bahwa cara mengumpulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsis-kan makna hadis yang ‘amm (umum), men-taqyid-kan hadis yang mutlaq, atau melihat berapa banyak hadis itu terjadi. Para ulama menamai ilmu hadis ini dengan Mukhtalif Al-Hadits.
Di antara para ulama yang telah merintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’i (w. 204 H) dengan kitab Mukhtalif Al-Hadits-nya, dilanjutkan oleh Ibnu Quthaibah (w. 276 H), Al-Thahawi (w. 321 H), Ibn Al-Jauzi (597 H) yang menyusun kitab At-Tahqiq, yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.

8.      Ilmu Tashif wa At-Tahrif
Menurut Ash-Shiddieqy, ilmu tashif wa at-tahrif adalah,
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَسْبَابٍ غَامِضَةٍ خَفِيَّةٍ قَادِحَةٍ فِيْ صِحَّةِ اْلحَدِيْثِ .
Artinya: “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis.”

Di antara kitab dalam ilmu ini adalah kitab At-Tashnif wa At-Tahrif, susunan Al-Daruquthni (w. 385 H) dan Abu Ahmad Al-‘Askari (w. 283 H).[15]

9.      Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
Pengertian ilmu asbab wurud al-hadits adalah:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِيْ وَرَدَ لِأَجْلِهِ اْلحَدِيْثُ وَالزَّمَانِ الَّذِيْ جَاءَ فِيْهِ .
Artinya: “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW. menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW. menuturkannya.”

Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadis serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadis tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadis, sebagaimana pentingnya kedudukan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab asbab wurud al-hadits adalah Kaznah Al-Jubairi dan Abu Hafash ‘Umar bin Muhammad ibn Raja’ Al-Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab Al-Bayan wa Al-Ta’rif yang disusun oleh Ibrahim ibn Muhammad Al-Husaini (w. 1120 H).[16]

10.  Ilmu Musthalah Ahli Hadits
Dalam kitab karangan Ash-Shiddieqy, ilmu mushthalah ahli hadits adalah,
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ ِممَّا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ المُْحَدِّثُوْنَ وَتَعَارَفُوْهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ .
Artinya: “Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah) yang dipakai oleh ahli-ahli hadis.”

Ulama yang mula-mula menyusun kitab tentang ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (w. 360 H). Kemudian, dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbhani, Al-Khatib (w. 463 H), Al-Hafizh ibn Shalah (463 H) dengan kitabnya Muqaddimah ibn Shalah.[17]

C.     Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis
Pada periode Rasulullah SAW, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang akan menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Rasulullah SAW. atau sahabat lain yang dapat dipercaya dan mengamalkan hadis tersebut.
Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujuqnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634 H) misal-nya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kacuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikan.
Demikian pula Umar bin Khattab (581-644 H), bahkan ia mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak memberi saksi. Ali bin Abi Thalib (603-661 H), menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima suau hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang yang menyampaikan bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kbenarannya, seperti Abu Bakar Ahs-Shiddiq.
Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H), Al-Hasan Al-Bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbil Asy-Syab’i (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).
Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan ulama-ulama hadis selanjutnya.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Kemudian muncul Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dengan kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405 H/ 1014 M) dengan kitabnya, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits, dan masih banyak lagi.[18]

D.     Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits
1.      Penulisan Hadits
Pada awalnya, penulisan hadis tidak dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena dikhawatirkan akan mengganggu perhatian dan konsentrasi para sahabat dalam menghapal dan menulis Al-Qur’an. Namun ini bukan berarti tidak ada seorang pun yang menulis hadis Nabi. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.
Di antara sahabat Nabi yang mempunyai catatan hadis Rasulullah SAW. adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah, mereka beralasan,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ . ﴿ رواه مسلم
Artinya: Rasulullah SAW. telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dariku, dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapuskannya.”             (HR. Muslim)

Dan mereka bertanya kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan yang tidak dijadikan syari’at umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut, kemudian Rasulullah SAW. bersabda,
أُكْتُبْ عَنِّيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْ فَمِيْ إِلَّا حَقٌّ .
Artinya: “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”

Dalam buku Ulumul Hadis karangan Muhammad Ahmad dkk. diterangkan, sebagian ulama berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat untuk menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadis dan       Al-Qur’an. Adapun izin untuk menulis hanya diberikan kepada mereka yang  tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadis dengan Al-Qur’an.[19]


2.      Pembukuan Hadis
Pada abad pertama Hijriyah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafa Ar-Rasyidin, dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriyah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun, ide tersebut dilaksanakan oleh Umar karena bila umat Islam terganggu perhatian-nya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau ter-gerak hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz meme-rintahkan kepada Gubernur Mdinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.  Hal ini beliau lakukan karena beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia.
Selain kepada Gubernur Madinah, kalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah bjuga secara khusus menulis suratkepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melak-sanakan perintah khalifah tersebut sehingga salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij, Ar-Rabi’ bin Shahih, dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagai-mana telah telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum sempurna. Pada masa Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempurna-an. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwaththa’ oleh Imam Malik dan Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi’i. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.[20]



3.      Metode Pembukuan Hadits[21]
Di antara metode-metode pembukuan hadis yang dapat pemakalah sampaikan:
a.       Metode Masanid
Al-Masanid, jamak dari sanad, maksudnya buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadis setiap sahabat secara tersendiri, baik hadis sahih, hasan, maupun dhaif.
Al-Masanid yang dibuat oleh para ulama hadis jumlahnya banyak. Al-Kittani dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Mustathrafah menyebutkan jumlahnya sebanyak 82 musnad, kemudian berkata “Musnad itu jumlahnya banyak selain yang telah kami sebutkan.”
Di antara musnad-musnad yang peling terkenal:
1)      Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud At-Thayalisi
2)      Munad Abu Bakar ‘Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidy
3)      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
4)      Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar
5)      Musnad Abu Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili

b.      Al-Ma’ajim
Al-Ma’ajim adalah jamak dari mu’jam. Menurut istilah para ahli hadis, Al-Ma’ajim adalah buku-buku yang berisi kumpulan hadis yang berurutan berdasarkan nama-nama sahabat, atau guru-guru penyusun, atau negeri, sesuai dengan huruf hijaiyah.
Kitab-kitab mu’jam yang terkenal, antara lain Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Aswath, dan Al-Mu’jam Ash-Shaghir karya Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani (w. 360 H), dan Mu’jam Al-Buldan karya Abu Ya’la Ahmad bin ‘Ali Al-Mushili (w. 307 H).

c.       Pengumpulan Hadis Berdasarkan Semua Bab Pembahasan Agama, seperti Kitab-kitab Al-Jawami’
Al-Jawami’ jamak dari jaami’. Jawami’ dalam karya hadis adalah yang disusun dan dibukukan pengarangnya terhadap semua pembahasan agama.
Kitab-kitab jami’ yang terkenal adalah Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Bukhari (w. 256 H), Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H), dan Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Tirmidzi  (w. 279 H).

d.      Penulisan Hadis Berdasarkan Pembahasan Fikih
Karya ini tidak mencakup semua pembahasan agama, tetapi sebagian besarnya saja, khususnya masalah fikih. Metode yang dipakai dalam penyusunan kitab ini adalah dengan menyebutkan bab-bab fikih secara berurutan, dimulai dengan kitab thaharah, kemudian kitab shalat, ibadah, muamalat, dan seluruh bab yang berkenaan dengan hukum dan fikih. Terkadang ada pula judul yang tidak berkaitan dengan masalah fikih, seperti kitab iman dan adab.
Karya-karya yang terkenal dengan metode ini adalah As-Sunan, Al-Mushannafat, dan Al-Muwaththa’at.

e.       Kitab-kitab yang Penyusunnya Hanya Menuliskan Hadis-hadis yang Sahih
Selain metode-metode penyusunan yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama tetap berkomitmen menyusun kitab-kitab sahih, di antaranya Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, dan Al-Mustadrak karya Al-Hakim. Selain kitab-kitab ini, ada beberapa kitab yang disusun dengan kriteria sahih oleh penulisnya, yaitu Shahih Ibnu Khuzaimah karya Abi Abdillah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Al-Mughirah As-Sulami An-Naisaburi, guru Ibnu Hibban (w. 311 H), dan Shahih Ibnu Hibban karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban (w. 354 H).

f.        Karya Tematik
1)      At-Targhib wa At-tarhib
adalah kitab-kitab hadis yang berisi kumpulan hadis tentang targhib (motivasi) terhadap perintah agama, dan tarhib (ancaman) terhadap larangannya.
Karya-karya yang terkenal; At-Targhib wa At-tarhib karya Zakiyuddin Abdul Azhim bin Abdil Qawiy (w. 656 H), dan At-Targhib wa At-tarhib karya Abi Hafsh Umar bin Ahmad (w. 385 H).
2)      Buku tentang kezuhudan, keutamaan amal, adab, dan akhlak
Karya-karya; Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Az-Zuhd karya Abdullah bin Al-Mubarak (w. 181 H), dan Akhlaq An-Nabi karya Abi Syaikh Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Al-Ashbahani (w. 369 H).[22]

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Ilmu Hadis adalah Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW. dari segi hal ihwal para perawi-nya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.
Pengelompokan Ilmu Hadis secara garis besar ada dua, yaitu:
1.      Ilmu hadis riwayah
2.      Ilmu hadis dirayah
Cabang-cabang Ilmu Hadis secara garis besar ada 10, yaitu:
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits
2.      Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
3.      Ilmu Fannil Mubhamat
4.      Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
5.      Ilmu Gharib Al-Hadits
6.      Ilmu Nasikh wa Al-Mansukh
7.      Ilmu Talfiq Al-Hadits
8.      Ilmu Tashif wa At-Tahrif
9.      Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
10.  Ilmu Musthalah Ahli Hadits
Penulisan hadis dilakukan oleh para sahabat sejak zaman Rasulullah SAW, meski pada awalnya tidak dianjurkan oleh Nabi karena dikhawatirkan akan men-campuradukkannya dengan Al-Qur’an.
Pembukuan hadis dimulai pada zaman sahabat, kemudian dilanjut pada gene-rasi tabiin.
Di antara metode-metode pembukuan hadis yang dapat pemakalah paparkan:
1.      Metode Masanid,
2.      Al-Ma’ajim,
3.      Pengumpulan Hadis Berdasarkan Semua Bab Pembahasan Agama, seperti Kitab-kitab Al-Jawami’,
4.      Penulisan Hadis Berdasarkan Pembahasan Fikih,
5.      Berdasarkan Hadis-hadis sahih,
6.      Karya Tematik, dan masih banyak lagi.

B.     Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, sebagai manusia biasa dan status kami sebagai seorang yang sedang mencari ilmu, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun kiranya sangat kami butuhkan demi kemajuan semua.

DAFTAR PUSTAKA
Agus Solahudin, Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011

Ahmad, Muhammad. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2004

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997

Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010

Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005


[1] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. hlm. 69
[2] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. hlm. 71
[3] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 105
[4] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 106-107
[5] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 107-109
[6] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 111
[7] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997. hlm. 30
[8] Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. hlm. 76-77
[9] Agus Solahudin dan Agus suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 113
[10] Agus Solahudin dan Agus suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 113-115
[11] Agus Solahudin dan Agus suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 115
[12] Muhammad Ahmad. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2004. hlm. 52-53
[13] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm. 211
[14] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm. 213
[15] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 120-121
[16] Endang Soetari. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm. 212
[17] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 122
[18] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 123-125
[19] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 60
[20] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 61-63
[21] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 64-71
[22] Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2011. hlm. 64-71

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI