Bagaimana Islam
memandang kondisi kemiskinan? Sebagai sebuah sistem hidup, Islam adalah agama
kesejahteraan dan sebaliknya membenci kemiskinan. Sampai-sampai tujuan syariah
yang paling utama adalah menciptakan kesejahteraan, dalam hal ini hifdh
al-mal (penjagaan harta). Harus diakui, kemiskinan bagi umat Islam adalah
musuh paling berbahaya sebab kemiskinan memungkinkan manusia berpaling dari
Tuhannya sehingga menjadikan orang yang kafir, sedangkan kafir adalah kebalikan
dari Islam itu sendiri.
Kata miskin
merupakan kata benda, yang berasal dari kata sakana-yaskunu-sukunan/miskin
yang berarti “diam”, “tetap”, atau “reda”. Kata miskin dan yang seasal
dengannya disebut sebanyak 69 kali dalam Al-Qur’an. Dari 69 kali itu, khusus
yang bermakna kemiskinan sebanyak 23 kali, 11 kali diantaranya dalam bentuk
tunggal (miskin) dan 12 kali dalam bentuk jama’ (masakin).[1]
Selain itu, masih
ada beberapa ayat lain yang menyebutkan kata yang sejenis dengan kemiskinan,
seperti kata faqir, fuqara’, ba’s, sail, qani’, mu’tarr, dha’if, atau mustadh’afin.
Banyaknya kata ini dibahas dalam Al-Qur’an menunjukkan betapa kemiskinan
merupakan fenomena tak terpisahkan dalam kehidupan ini dan Al-Qur’an memberi
perhatian sekaligus solusi untuk hal tersebut.
Kata miskin
menurut Al-Asfahani dan Ibnu Manzhur sebagaimana yang dikutip dari Esiklopedia
Al-Qur’an berarti ‘tetapnya sesuatu setelah bergerak’. Dalam istilah agama,
kemiskinan berarti orang yang tidak memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan diam itulah yang menyebabkan kemiskinannya. Beberapa pendapat
ulama menyebut bahwa arti kemiskinan lebih cenderung disebabkan dari subjeknya
sendiri. Dengan kata lain, kemiskinan dalam definisi ini bukan mengarah kepada
kemiskinan yang bersifat struktural.
Definisi diatas
menunjukkan kemiskinan terjadi disebabkan oleh “aksi diam” seseorang dalam
menggapai tebaran rahmat Allah yang terbentang di alam ini. padahal, Allah
sendiri tiada putus-putusnya memberi fasilitas secara tak terhbatas yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia sebagai bekal kehidupannya. (Lihat Q.S Hud : 6). Dengan
kata lain, Allah tidak pernah berhenti memproduksi sumber daya alam yang
terbentang luas di dunia ini yang disiapkan bagi semua makhluk di muka bumi
ini. Manusia yang senantiasa “bergerak” akan menjadi kaya sedangkan manusia
yang “diam” akan menjadi miskin.
Menelusuri
kemiskinan dalam Al-Qur’an, terlihat bahwa terjadinya kemiskinan itu tidak
hanya disebabkan faktor pribadi yang tidak berusaha secara baik sehingga tidak
mendapatkan penghasilan. Namun, Al-Qur’an juga mensinyalir bahwa kemiskinan
yang terjadi itu disebabkan sistem kemasyarakatan (baca:penguasa) yang membuat
masyarakat tersistem jadi miskin dengan kebijakan yang diperbuat atau yang bisa
disebut kemiskinan struktural.
Pada dasarnya miskin dan kaya adalah sunnatullah sebab tiada orang
kaya tanpa orang miskin, sebaliknya, tiada orang miskin tanpa orang kaya.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa kaya miskin adalah sebuah sistem dalam kehidupan. Keduanya
merupakan perangkat dari sistem itu sendiri, ketiadaan yang satu akan menafikan
yang lainnya. Tidak ada orang kaya tanpa orang miskin, dan orang miskin pasti
selalu membutuhkan orang kaya sebagai “sumber” rezeki. (Lihat Q.S. Az-Zukhruf :
32). Oleh karena itu, keduanya haruslah saling mengerti dan memahami, ketika
kaya-miskin mau saling “berkoordinasi”, akan terciptalah negeri yang makmur.
Al-Qur’an sendiri telah menyiapkan seperangkat perintah dan alat
bagi manusia untuk menunjuk manusia dalam mengentaskan kemiskinan. Pertama,Allah
menyuruh setiap individu untuk melakukan usaha mencari rezeki secara maksimal
dalam memperoleh kebutuhan hidupnya. Allah telah menyiapkan rezeki di dunia ini
untuk manusia (Lihat Q.S. Al-Qashash:77). Oleh karena itu, Islam adalah agama
yang menagajrkan etos kerja bagi umatnya untuk “menjemput rezeki”.
Kedua, Allah
menyuruh kepada sesama untuk saling memberi bantuan kepada orang yang
membutuhkan (Lihat Q.S. An-Nur: 22). Dalam konteks ini, terjadilah apa yang
disebut dengan interdependensi (saling ketergantungan) antara si kaya dan si
miskin. Keduanya hendak bisa saling membantu dan saling mengerti posisi satu
sama lain.
Ketiga, dibutuhkan political
will pemerintah untuk memperhatikan mereka yang kurang mampu dengan
berbagai instrument, seperti zakat, sedekah, dan modal kerja. Hal ini
sebagaimana diperintahkan Allah dalam firman-Nya (Lihat Q.S. At-Taubah: 60). Sampai
disini, betapa Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang lengkap karena di dalamnya
terdapat seperangkat norma dan segala hal dijelaskan secara detail, mulai dari
menyikapi fenomena kemiskinan, memberi motivasi kepada setiap individu untuk
meraik rezeki yang disiapkan Allah, hingga menyiapkan sejumlah instrument ekonomi
lainnya sebagai “aturan baku” negara untuk mengentaskan kemiskinan. Jika demikian,
mengapa kita tidak belajar saja dari Al-Qur’an? Wallahua’lam.
[1] Quraish
Syihab, dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an (Kajian Kosakata), (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), hlm. 610
0 komentar:
Posting Komentar