Kamis, 24 Oktober 2019

Kemiskinan Perspektif Al-Qur'an : Penyebab & Solusi



            Bagaimana Islam memandang kondisi kemiskinan? Sebagai sebuah sistem hidup, Islam adalah agama kesejahteraan dan sebaliknya membenci kemiskinan. Sampai-sampai tujuan syariah yang paling utama adalah menciptakan kesejahteraan, dalam hal ini hifdh al-mal (penjagaan harta). Harus diakui, kemiskinan bagi umat Islam adalah musuh paling berbahaya sebab kemiskinan memungkinkan manusia berpaling dari Tuhannya sehingga menjadikan orang yang kafir, sedangkan kafir adalah kebalikan dari Islam itu sendiri.
            Kata miskin merupakan kata benda, yang berasal dari kata sakana-yaskunu-sukunan/miskin yang berarti “diam”, “tetap”, atau “reda”. Kata miskin dan yang seasal dengannya disebut sebanyak 69 kali dalam Al-Qur’an. Dari 69 kali itu, khusus yang bermakna kemiskinan sebanyak 23 kali, 11 kali diantaranya dalam bentuk tunggal (miskin) dan 12 kali dalam bentuk jama’ (masakin).[1]
            Selain itu, masih ada beberapa ayat lain yang menyebutkan kata yang sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara’, ba’s, sail, qani’, mu’tarr, dha’if, atau mustadh’afin. Banyaknya kata ini dibahas dalam Al-Qur’an menunjukkan betapa kemiskinan merupakan fenomena tak terpisahkan dalam kehidupan ini dan Al-Qur’an memberi perhatian sekaligus solusi untuk hal tersebut.
            Kata miskin menurut Al-Asfahani dan Ibnu Manzhur sebagaimana yang dikutip dari Esiklopedia Al-Qur’an berarti ‘tetapnya sesuatu setelah bergerak’. Dalam istilah agama, kemiskinan berarti orang yang tidak memperoleh sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan diam itulah yang menyebabkan kemiskinannya. Beberapa pendapat ulama menyebut bahwa arti kemiskinan lebih cenderung disebabkan dari subjeknya sendiri. Dengan kata lain, kemiskinan dalam definisi ini bukan mengarah kepada kemiskinan yang bersifat struktural.
            Definisi diatas menunjukkan kemiskinan terjadi disebabkan oleh “aksi diam” seseorang dalam menggapai tebaran rahmat Allah yang terbentang di alam ini. padahal, Allah sendiri tiada putus-putusnya memberi fasilitas secara tak terhbatas yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai bekal kehidupannya. (Lihat Q.S Hud : 6). Dengan kata lain, Allah tidak pernah berhenti memproduksi sumber daya alam yang terbentang luas di dunia ini yang disiapkan bagi semua makhluk di muka bumi ini. Manusia yang senantiasa “bergerak” akan menjadi kaya sedangkan manusia yang “diam” akan menjadi miskin.
            Menelusuri kemiskinan dalam Al-Qur’an, terlihat bahwa terjadinya kemiskinan itu tidak hanya disebabkan faktor pribadi yang tidak berusaha secara baik sehingga tidak mendapatkan penghasilan. Namun, Al-Qur’an juga mensinyalir bahwa kemiskinan yang terjadi itu disebabkan sistem kemasyarakatan (baca:penguasa) yang membuat masyarakat tersistem jadi miskin dengan kebijakan yang diperbuat atau yang bisa disebut kemiskinan struktural.
Pada dasarnya miskin dan kaya adalah sunnatullah sebab tiada orang kaya tanpa orang miskin, sebaliknya, tiada orang miskin tanpa orang kaya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kaya miskin adalah sebuah sistem dalam kehidupan. Keduanya merupakan perangkat dari sistem itu sendiri, ketiadaan yang satu akan menafikan yang lainnya. Tidak ada orang kaya tanpa orang miskin, dan orang miskin pasti selalu membutuhkan orang kaya sebagai “sumber” rezeki. (Lihat Q.S. Az-Zukhruf : 32). Oleh karena itu, keduanya haruslah saling mengerti dan memahami, ketika kaya-miskin mau saling “berkoordinasi”, akan terciptalah negeri yang makmur.
Al-Qur’an sendiri telah menyiapkan seperangkat perintah dan alat bagi manusia untuk menunjuk manusia dalam mengentaskan kemiskinan. Pertama,Allah menyuruh setiap individu untuk melakukan usaha mencari rezeki secara maksimal dalam memperoleh kebutuhan hidupnya. Allah telah menyiapkan rezeki di dunia ini untuk manusia (Lihat Q.S. Al-Qashash:77). Oleh karena itu, Islam adalah agama yang menagajrkan etos kerja bagi umatnya untuk “menjemput rezeki”.
Kedua, Allah menyuruh kepada sesama untuk saling memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan (Lihat Q.S. An-Nur: 22). Dalam konteks ini, terjadilah apa yang disebut dengan interdependensi (saling ketergantungan) antara si kaya dan si miskin. Keduanya hendak bisa saling membantu dan saling mengerti posisi satu sama lain.
Ketiga, dibutuhkan political will pemerintah untuk memperhatikan mereka yang kurang mampu dengan berbagai instrument, seperti zakat, sedekah, dan modal kerja. Hal ini sebagaimana diperintahkan Allah dalam firman-Nya (Lihat Q.S. At-Taubah: 60). Sampai disini, betapa Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang lengkap karena di dalamnya terdapat seperangkat norma dan segala hal dijelaskan secara detail, mulai dari menyikapi fenomena kemiskinan, memberi motivasi kepada setiap individu untuk meraik rezeki yang disiapkan Allah, hingga menyiapkan sejumlah instrument ekonomi lainnya sebagai “aturan baku” negara untuk mengentaskan kemiskinan. Jika demikian, mengapa kita tidak belajar saja dari Al-Qur’an? Wallahua’lam.


[1] Quraish Syihab, dkk., Ensiklopedia Al-Qur’an (Kajian Kosakata), (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 610


Share:

0 komentar:

Posting Komentar

TERJEMAHKAN BLOG INI

PENGUNJUNG SAAT INI